Sabtu, 06 Maret 2010

Refleksi Aksi Solidaritas TOLAK PEMBAKARAN BUKU






Apa yang terbersit di otak saya ketika seorang rekan yang sangat mencintai BUKU layaknya jiwanya dan orang-orang yang dikasihinya, menuliskan kalimat berikut di dinding Facebooknya.

Beri aku 10 pemuda yang membara cintanya pada BUKU, dan aku akan mengguncang mereka para pembakar buku itu!!!! Ada yang mau ikut aksi turun jalan?

Begitu lah yang terpampang di dinding beranda beliau.

Aktivitas saya sebenarnya adalah seorang pegawai honorer salah satu konsultan SDM. Tak ada yang dapat menautkan saya dengan sosok Diana Av. Sasa, Redaktur Pelaksana I:BOKOE, selain kecintaan kami dalam sesuatu yang sama. BUKU.

Layaknya orang jatuh cinta, tentu saja saya iri dan cemburu dengan beliau. Dengan gamblang beliau memberikan perspektif baru memperluas wacana saya mengenai sesuatu yang kami cintai buku, sastra dan pergerakan. Dan, kali ini ajakan beliau terus terang membuat saya tergugah.

Sebelumnya, saya telah mengikuti perkembangan berita atas pembakaran buku yang dilakukan pada saat penyaluran aspirasi oleh beberapa elemen masyarakat.

...Rabo, (2/9/09) Front Anti-Komunis (FAK) berdemonstrasi di depan kantor Jawa Pos. Mereka terdiri dari Paguyuban Keluarga Korban Pemberontakan PKI 1948 Madiun, Centre For Indonesian Communities Studies (CICS), Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur, Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), dan MUI Jawa Timur, Forum Madura Bersatu (Formabes) Jawa Timur, DHD ‘45 Cabang Surabaya, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), serta beberapa kelompok lainnya.

Mereka keberatan atas beberapa pernyataan Soemarsono, ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang dimuat dalam tulisan bertajuk, Soemarsono; Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya. Catatan terkait dengan sejarah dan masa lalu Soemarsono tersebut dimuat bersambung tiga seri di halaman depan Metropolis Jawa Pos, 9-11 Agustus 2009, yang ditulis Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan.

Setelah membacakan pernyataan sikap, Arukat, Muhammad Khoiruddin, dan Nazir Zaini (Formabes) beramai-ramai membakar buku testimonial Soemarsono berjudul Revolusi Agustus, Kesaksian Pelaku Sejarah....

Begitulah kurang lebih kronologis berita yang terangkum dari pemberitaan yang saya terima selama ini.

Saya berang sekali ketika turun berita tersebut. Saya telah mengalami sendiri, menjadi korban atas vandalisme, sewaktu saya kecil. Orang yang seharusnya memberi saya panutan justru melarang saya menulis. Bahkan di tahun ke 3 saat saya bersekolah dasar, saya harus mendapati BUKU kesayangan saya DIBAKAR. Buku itu adalah buku harian saya. Maka, seperti menuangkan kembali asam cuka ke luka yang belum kering perasaan saya atas kecintaan pada BUKU dan dunia tulis menulis harus menganga kembali. Apa salah otak saya yang mempunyai pemikiran tersendiri? Salahkah saya yang memilih buku sebagai tempat menuangkan aspirasi dan kegundahan hati. Saya tidak pernah berkonflik dengan kertas, pena dan buku. Mereka adalah teman yang sabar, jujur dan mengerti segala tentang saya. Belajar dari mereka adalah belajar bagaimana membuka wacana, menerima perbedaan-perbedaan dengan kasih dan menghargai. Dan,anda silakan membayangkan bagaimana perihnya ketika karib dan sesuatu yang kita kasihi dimusnahkan, diberangus hidup-hidup di depan mata.

Bagi saya, tak ada hakikat yang mutlak dalam menyokong dan menuju kebenaran yang mendekati kesempurnaan. Namun, hal tersebut akan bisa diraih, bila kita mampu memandang suatu fenomena dari beragam sudut.

Seperti halnya orientasi berikut, ketika sekumpulan orang yang ditutup matanya diminta untuk memberikan deskripsi tentang suatu benda asing. Maka, tentu saja tidak ada jawaban yang sempurna. Fenomena akan utuh kita tangkap, bila kita mampu mengatur jarak dan "membuka mata" kita atas perspektif baru. Jarak dibutuhkan, agar kita dapat memandang sesuatu dengan objektif. Membuka mata adalah agar kita mampu menangkap fenomena secara menyeluruh dan detail. Tanpa perspektif yang menyeluruh kita tidak akan mencapai kebenaran tersebut.

"Membaca" berbagai macam bahan adalah salah satu upaya memperluas wacana dan mengatur jarak terhadap fenomena. Dan itu tidak akan bisa terwujud bila kita hanya melakukan tebang pilih atas informasi yang kita terima.

Maka, bagi saya "Sejarah seharusnya, dikatakan benar bila itu benar, dan dikatakan salah apabila salah". Selamat "MEMBACA" fenomena, dan jangan rusak buku-buku anda.


Nisa Ayu Amalia Elvadiani
(Pecinta Buku dan salah satu Penggagas Perpustakaan Emperan ESOK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar