Selasa, 08 Februari 2011

Dari Mesir, Amerika, Eropa ke Indonesia: Dari Shisha, Coca-Cola, Heineken ke Elfa Secioria (sebuah catatan harian)

31 Januari 2011 jam 2:41

Sambil makan mie ayam saat beristirahat mengisi amunisi sehabis kegiatan Bengkel Biblio di dbuku, mata saya tertuju pada sekelompok anak muda berusia belasan tahun. Bawahannya mini, atasan baju ketat (maaf: branya pun kelihatan atau saya rasa sepertinya beberapa di antara mereka tidak pakai ), mata memakai lensa kontak warna bukan hitam, rambut ditata bukan hanya rapi, tapi lebih mirip mengambil gaya artis dalam negeri ataupun luar negeri.

Mereka bergerombol, cekakak-cekikik membicarakan kekasih mereka. Di meja makan mereka tersedia shisha, semacam alat hisap rokok super besar berasal dari Mesir yang memungkinkan mereka menghisap rame-rame dari alat yang sama. Sebuah kebersamaan yang unik bukan? Kalau dulu saya membayangkan shisha dipakai untuk sarana perdamaian saat para bangsawan atau raja-raja berunding, maka fungsinya sekarang telah bergeser. Shisha dipakai sebagai alat pergaulan.

Pemandangan ini agak kontras dengan saya yang mengenakan pakaian agak slordeh kalau orang Sunda biasa bilang, ngasal, dan tentu saja jauh dari kesan modis. Saya memang paling malas untuk berdandan, jadi saya sudah cukup merasa puas memakai sweater tebal garis merah-putih yang terbeli bersama beberapa karung baju afkir kapal lainnya yang saya beli di Makasar. Konon barang tersebut produk tidak laku dari Korea, termasuk kaos strecth saya. Celana panjang saya beli sejak SMP (kini saya berumur 25 tahun). Sepatu kets yang meski modelnya meniru-niru produk luar negeri (tapi sepertinya gagal), tapi ini masih buatan dalam negeri (meski merknya dibuat sok kebarat-baratan). Sementara kaos kaki saya super tebal, barang gratisan dari salah satu produk minuman beralkohol, yang lagi-lagi berasal dari luar negeri.

Kalau ditanya soal alasan pemilihan pakaian saya, sebenarnya cukup sederhana. Tubuh saya tidak cukup kuat menahan dingin dari AC mall, yang bukan main membuat bulu kuduk saya selalu berdiri. Saya butuh pakaian tebal, dan saya harus mengucapkan "selamat tinggal" pada pakaian mini saya.

Tak jauh dari mereka tampaklah beberapa botol minuman soda (juga berasal dari luar negeri) dan mereka tengah asyik menikmati sajian kebab, syawarma, hamburger, fried chicken crispy, mushroom chrispy mayonnaise, atau friench fries. Lumayan enak racikan mie ayam tenant chinnese food ini setara dengan waktu yang saya perlukan untuk menunggu. Yah, sepertinya membutuhkan sedikit kesabaran hitung saja mulai dari menunggu meja dibersihkan, masakan diracik hingga makanan siap untuk disantap. Untung saja telepon seluler saya masih setia menemani, ponsel saya juga buatan luar negeri sepertinya, meski provider kartunya dalam negeri. Mengusir kebosanan saya saat menunggu.

Setelah makan, saya kembali ke habitat saya, perpustakaan. Saya menyelami kembali pemikiran Minke, tokoh utama Bumi Manusia-Pram itu, bacaan wajib saya selama sebulan ini. Entah apa yang dirasakannya ketika ia memakai destar lengkap saat bersekolah di H.B.S dan rekan-rekannya yang Indo atau Eropa berpakaian jas lengkap. Terasingkah? Yah, saya jadi membayangkan apakah begini rasanya teralienasi oleh lingkungan, dan lingkungan yang mendesak untuk mengikuti gaya hidup mereka.

Saya sadar betul, saya dan Minke punya pandangan yang senada, kami tak terlalu memusingkan apa dan bagaimana pakaian kami, tapi yang lebih kami persoalkan adalah perlakuan. Saya dan mungkin juga Minke, akan tidak terlalu mempermasalahkan persoalan pakaian atau atribut. Yang akan buat kami geram adalah ekses dari atribut itu. Seperti misalnya, Minke harus menjalani "ospek" teman-teman Indonya hanya gara-gara dia pakai destar karena ia seorang pribumi, sementara saya harus menunggu sebegitu lama untuk makanan saya, padahal pesanan orang lain datang lebih dulu hanya gara-gara penampilan mereka lebih modis daripada saya.

Yah, marilah kesampingkan dulu soal kecemburuan saya pada anak muda belasan tahun yang banyak saya temui di food court sebuah mall. Setelah beraktivitas di perpustakaan, saya kembali di rumah, buka facebook dan mendapati pergunjingan ramai soal penulis yang dicurigai melakukan plagiasi dan kemudian karya tersebut dimuat kembali di sebuah koran nasional yang menjadi barometer perkembangan sastra nasional, setelah sebelumnya dimuat di sebuah koran lokal. Kemudian, salah seorang penulis melayangkan gugatan protes soal berita tersebut. Apakah ini soal kecemburuan? Hussh... tidak boleh seperti itu, su'udzon itu dilarang menurut kitab dalam agama saya

Saya juga jadi mengingat keputusan fenomenal Alm.Harry Roesli, seorang professor yang juga budayawan kondang, menganjurkan karyanya dibajak siapa saja, tanpa kecuali. Herannya, jarang sekali saya temui kasetnya beredar di lapak kaset bajakan setelah ia mengungkapkan hal tersebut. Ini sangat kontras dengan lagu-lagu nge-pop yang gencar sekali mengoarkan kampanye anti pembajakan. Alasan Harry sederhana, ia terlalu capek berkampanye soal anti bajakan, percuma katanya. Toh dilarang pun tetap sama saja, pembajakan tetap marak. Maka ia ganti cara kampanye, memakai teori pembalikan. Dan berhasil.

Berbicara soal plagiasi memang sepertinya bukan barang baru buat masyarakat kita. Mulai dari adopsi gaya hidup, karya hingga foto profil. Hehehe... bayangkan bahkan poto profil FB pun memakai poto mafia hukum, seperti Gayus, menjadi trend di beberapa poto profil individu di jejaring sosial. Apakah mereka tidak mempunyai muka sendiri untuk dipajang sampai begitu "mengidolakannya" sosok Gayus seperti demikian?

Tampaknya ini PR besar buat kita, karya adalah karya. Karya lah yang membesarkan penciptanya. Saya meyakini itu. Siapa pun. Apakah gadis belasan tahun itu yang akan "besar" namanya setelah ia mengadopsi gaya artis itu? Yah, kita tahu lah jawabannya. Tentu, bukan.

Sementara dari channel TV swasta, saya masih bersenandung sayup-sayup sambil menikmati lagu-lagu karya dari seorang Elfa Secioria, musisi kebanggaan Indonesia. Ia meninggal beberapa minggu yang lalu tapi tiga minggu berturut-turut masing-masing televisi membuatkan program acara yang berbeda untuknya. Dan saya juga tersenyum senang, mengingat jelas profil Bu Direktur saya, yang termuat di sebuah tabloid nasional karena karyanya (narsis boleh dong ah... hehehehe).

*nisa elvadiani
pustakawan d:buku, perintis ESOK
dimuat juga di : http://yanahaudy.net/?Features_Corner::Shisha%2C_Coca_Cola%2C_dan_Elfa_Secioria_Dalam_Satu_Kilasan&logout

Kamis, 13 Januari 2011

The Hindenburg (1975): “Perangkap” Balon Udara (Resensi Film)

Disutradarai : Robert Wise
Diproduksi : Robert Wise

Ditulis : Nelson Gidding
Richard Levinson
William Link

Dibintangi : George C. Scott
Anne Bancroft
Musik oleh : David Shire
Pembuatan film : Robert Surtees
Editing oleh : Donn Cambern
Didistribusikan oleh : Universal
Tanggal rilis (s) : 25 Desember 1975
Durasi : 125 menit
Negara : Amerika Serikat
Bahasa : Inggris


...Langit biru
Awan putih
Terbentang indah
Lukisan yang kuasa

Ku melayang
Diudara
Terbang dengan balon udaraku


Oh sungguh senangnya lintasi bumi
Oh indahnya dunia...





Begitulah tangkapan pengalaman dalam penggalan lagu “Balon Udara” yang dibawakan oleh Sherina. Entah apa yang dipikirkan oleh Zeppelin ketika menciptakannya. Menerbangkan hampir ratusan nyawa dalam “perangkap” gas helium yang mudah terbakar, tentu sebuah resiko yang harus dibayar. Dalam masa kejayaan NAZI, melayang-layang di udara, terbang bebas menyaksikan pemandangan daratan adalah salah satu impian yang tidak mudah dilakukan. Zeppelin kemudian di era tahun 1937, mewujudkan salah satu caranya. Namun ternyata, impian dan penemuannya itu dimanfaatkan oleh NAZI sebagai sebuah usaha propaganda menunjukkan kebesaran dan kejayaan imperiumnya. Apapun bisa terjadi bila berbicara soal potitik. Dan latar belakang tersebut yang dicoba dielaborasi sebagai cerita, mewarnai tragedi sejarah perjalanan salah satu alat transportasi udara ini.

Salah satu tragedi yang akan tercatat adalah tragedi balon udara Hindenburg, balon udara kebanggaan Jerman masa NAZI berjaya ini tercatat terbang di tanggal 6 Mei 1937 dan dikomandani oleh Kapten Max Pruss

Hindenburg, nama balon udara itu, berangkat dari keyakinan NAZI akan kemegahan dan kecanggihan bangsa Jerman. Menampung 97 penumpang dan puluhan awak dari daratan Jerman, ia membelah langit dengan gagah bersama kibaran logo “swastika di bagian sirip, melintasi Atlantik menuju Lakehurst, New Jersey.

Sebagai film yang dibuat di era tahun 1970 an The Hindenburg mencoba menangkap tragedi nyata tersebut. Sinematografinya memadukan tekhnik pengambilan gambar dari hitam-putih menuju ke multi-warna dan kembali lagi ke hitam-putih. Tekhnik ini merupakan salah satu terobosan kreatif yang tentu mempunyai maksud dalam pijakan jalan cerita keseluruhan. Pemirsa diajak untuk kembali ke masa silam, kemudian ketika bergerak di inti cerita maka sinematografi diubah menjadi multi warna dan kemudian kembali ke hitam putih lagi saat tragedi terjadi.

Tak hanya itu, kerangka dari balon udara dibuat sedemikian rupa mendekati aslinya dengan budget yang tak main-main banyaknya. Yang kemudian di akhir cerita replika kendaraan itu harus dikorbankan dibakar seperti layaknya tragedi nyatanya. Tak salah bila kemudian Academy Award tahun 1976 menganugerahi dengan nominasi Sinematografi terbaik, Best Art Direction, Suara Terbaik dan tentu saja tidak mengesampingkan keberhasilan film ini pada Peter Berkos untuk Efek-efek suara, juga Albert Whitlock dan Robinson Glen untuk Efek Visual.

Bila boleh membandingkan, adegan demi adegan mengingatkan adegan film Titanic di era 2000-an. Jadi bayangkan, bila di era tahun 1975 sudah mampu membuat film semegah Titanic di era 2000 an. Film ini layak mendapat kredit title sebagai film yang cukup revolusioner dalam pijakan sinematografi dan efek visual maupun audio.

Tipikal “Amerika”

Dibuat sebagai rekonstruksi peristiwa sejarah atas meledaknya Hindenburg secara misterius, jalan cerita serta plot yang dibangun di dalamnya dibuat dengan konsep fiksi, termasuk plot sabotase yang menjadi inti cerita. Tidak hanya memuat rekonstruksi meledaknya Hindenburg sebagai klimaks, The Hindenburg juga sebenarnya memasukkan tragedi Graf Zeppelin dan mengganti nama beberapa nama tokoh yang termasuk dalam daftar korban. Tidak hanya itu beberapa nama tokoh pun ditambahkan.

Apa yang tersaksikan adalah bagaimana pola pikir industri perfilman Amerika memandang sejarah tragedi penerbangan Jerman-NAZI. Dalam kebanyakan film produksi Amerika syarat yang kerap terlihat adalah harus mempunyai aktor hero yang menonjol.

Kali ini tokoh utamanya Kolonel Franz Ritter berusaha menyelidiki benar atau tidaknya ancaman bom Kathie Rauch yang mengirimkan surat ke Kedutaan Besar Jerman di Washington DC. Kathie menyatakan bahwa Hindenburg akan meledak setelah mencapai New York. Bersama Martin Vogel, yang adalah seorang perwira Gestapo, Ritter memata-matai penumpang juga awak kabin dan menyisir berbagai kemungkinan pelaku peledakan Hindenburg. Mereka melakukan penyamaran dengan berpura-pura menjadi fotografer.

Kathie Rauch tidak sepenuhnya salah, Boerth, seorang anti-NAZI, salah satu awak kabin, merencanakan sebuah aksi sabotase. Ia meletakkan sebuah bom di sebuah partisi tambalan balon. Dengan serangkaian aksi penyelidikan, detektif-detektif-an, kait mengkait fakta, Ritter mengetahui maksud Boerth. Bukan menangkap boerth, tapi Ritter malah bersimpati karena alasan Ritter merencanakan aksi peledakan bunuh diri karena ia ingin membungkam NAZI dengan alat symbol kejayaannya, balon udara Hindenburg. Boerth malah mengajak Ritter membantunya dengan meminta informasi kapan balon udara dikosongkan. Ritter memang menerima usul Boerth asalkan ada jaminan bahwa tidak ada korban nyawa sipil yang dikorbankan atas aksi tersebut. Ia kemudian juga memberitahukan sebuah perkiraan waktu, bila Boerth dapat menjalankan aksinya yaitu sekitar jam setengah 8 malam. Penunjuk waktu bom akhirnya disetel pada waktu tersebut. Malangnya, karena cuaca buruk Hindenburg baru merapat di New Jersey pukul 19.15 dan penumpang belum juga mendapat perintah untuk turun. Sesuai waktu yang disetel pada pukul setengah 8 malam, Hindenburg meledak. Dan memberangus simbol kemegahan intelektual Jerman-NAZI.

Era tahun 70 an erat kaitannya dengan masa-masa kejayaan dari film detektif spionase, sebut saja James Bond. Hero yang satu ini berpakaian klimis, sisir belah pinggir samping dan minyak rambut. Jangan lupa dengan dandanan necisnya. Bagaimana dengan tokoh-tokoh Hindenburg? Seperti itulah dandanannya, sebut saja jas necis khas James Bond lekat menempel, sangat jauh dari kesan kumal masa resesi tahun 1930-an akhir. Yah mungkin saja hal itu karena penumpang Hindenburg adalah orang-orang kaya.

Selebihnya, ini adalah film megah nan mahal, meski di kalangan publik sendiri berkembang banyak kritik mengenai kegagalan membangun plot cerita yang cambur baur memadukan fiksi dengan sejarah. Banyak logika jalan cerita yang janggal dan luang, bahkan unsur sejarah sendiri pun banyak mengikutsertakan tragedi sejarah lain, yang entah disengaja atau tidak alih-alih sebagai dramatisasi cerita, namun malah mengaburkan sejarah yang ada. Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi bila penulis skrip tetap konsisten mempertahankan judul “The Hindenburg” yang sudah lekat dengan peristiwa sejarah. Karena film bisa juga merupakan sebuah dokumentasi sejarah, apa jadinya bila sejarah diputarbalikkan, dikarang-karang bahkan memasukkan unsur cerita lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan cerita aslinya.