Pengembangan literasi (kesusastraan) pada tingkat-tingkat daerah tampaknya mulai harus diberdayakan kembali. Penggiat-penggiat sastra saat ini tampaknya harus memulai kerja yang ekstra keras, dalam rangka menciptakan suasana literasi/ kesusastraan yang lebih kondusif, supportif dan mendidik.
Berangkat dari sebuah tagline “"Jika aku menulis buku, kemungkinan tetanggaku, tidak akan membaca. Tapi jika aku mendirikan pondok baca, pastinya tetangga, anak tetangga, warga desa tetangga, orang lewat, bisa mampir dan ikut menikmatinya". Kalimat tagline ini saya kutipkan dari sebuah semboyan milis tetangga “tamanbaca”. Inilah yang coba saya angkat sebagai bentuk penyadaran ataupun kalau bahasa saya “colekan” bagi penggiat-penggiat literasi.
Harga buku yang membumbung, dan tidak sebanding dengan derasnya perkembangan siaran televisi yang semakin marak, menjadikan masyarakat tidak punya alternatif sarana pembelajaran dan hiburan yang suportif, mendidik dan atraktif. Daripada membeli buku yang harganya mahal, lebih baik menonton televisi saja yang gratisan. Sementara sajian televisi saat ini kita perhatikan tidak sedikit juga tayangan-tayangan yang seperti tidak mempunyai filter. Saat ini tayangan-tayangan yang disajikan lebih banyak yang monoton, mengumbar kekerasan, konsumerisme, sensualitas, dan budaya membicarakan permasalahan orang lain (acara-acara gosip)
Kalaupun ada masyarakat yang haus membaca, mereka akan disibukkan dengan pergi kesana-kemari mencari perpustakaan, kemudian diributkan dengan proses kepengurusan kartu keanggotaan, ada pula perpustakaan-perpustakaan yang mewajibkan membayarkan uang dengan sejumlah tertentu bagi para peminat baca untuk sekedar menikmati koleksinya. Beberapa perpustakaan telah digagas, mulai dari perpustakaan keliling dengan menggunakan mobil kap terbuka hingga perpustakaan sepeda. Pepustakaan keliling dengan mobil memang mulai diadakan, namun hal ini hanya sebatas pada kota-kota besar, terhitung di Surabaya terdapat 3-5 mobil operasional perpustakaan mobil keliling. Berbeda dengan kota-kota kecil jarang ada bahkan tidak ada fasilitas semacam ini. Hal yang menjadi catatan bagi perpustakaan mobil keliling, adalah mobil operasional yang digunakan masih berkesan terlalu eksklusif. Memang bagi keluarga awam, hal ini menjanjikan kenyamanan, tapi bagi masyarakat kelas bawah (misalnya, pengamen, anak-anak jalanan, dan sebagainya) ini menimbulkan kejengahan, ada perasaan minder ketika mereka dipersilakan membaca di perpustakaan mobil ini. Kultur “mobil” ditengarai tidak “dekat” dengan kultur keseharian mereka yang bersahaja, dan sederhana. Padahal, justru masyarakat dengan tingkat perekonomian seperti inilah yang patut untuk difasilitasi.
Penggiat literasi tampaknya lebih condong meributkan diri pada proses kreasi, penciptaan hasil karya, proses bikin buku sendiri, proses perang counter hegemoni dan sebagainya. Hemat saya, ini justru tidak dipusingkan oleh masyarakat awam. Kalau ada yang lebih memilih menjadi “penggiat literasi” biasanya akan banyak yang berbicara masalah “Karyamu mana?”. Jarang sekali para penggiat literasi yang menanyakan “Karyamu mana, yang berguna bagi masyarakat?”, padahal bagi masyarakat, ini lah yang paling banyak dibutuhkan.
Untuk itu, saya mengajak para “penggiat literasi” untuk sekedar melongok kepada masyarakat, berkacamata pada kebutuhan mereka, dan menjawab kebutuhan mereka dengan sebuah “karya” yang bermanfaat". Karya yang tidak selalu, berbentuk "buat buku sendiri" , mengesampingkan terlebih dahulu “sedikit saja” hasrat yang ada, atas sebuah perdebatan yang tidak terlalu krusial. Pada dasarnya masyarakat tidak kekurangan bahan membaca, namun masyarakat kekurangan sumber daya dalam menyokong minat bacaannya.
* Penulis, Nisa Ayu Amalia, member ESOK, anggota penjaga gerbang ilmu Perpus Emperan ESOK
Sby, 141208