Kamis, 13 Januari 2011

The Hindenburg (1975): “Perangkap” Balon Udara (Resensi Film)

Disutradarai : Robert Wise
Diproduksi : Robert Wise

Ditulis : Nelson Gidding
Richard Levinson
William Link

Dibintangi : George C. Scott
Anne Bancroft
Musik oleh : David Shire
Pembuatan film : Robert Surtees
Editing oleh : Donn Cambern
Didistribusikan oleh : Universal
Tanggal rilis (s) : 25 Desember 1975
Durasi : 125 menit
Negara : Amerika Serikat
Bahasa : Inggris


...Langit biru
Awan putih
Terbentang indah
Lukisan yang kuasa

Ku melayang
Diudara
Terbang dengan balon udaraku


Oh sungguh senangnya lintasi bumi
Oh indahnya dunia...





Begitulah tangkapan pengalaman dalam penggalan lagu “Balon Udara” yang dibawakan oleh Sherina. Entah apa yang dipikirkan oleh Zeppelin ketika menciptakannya. Menerbangkan hampir ratusan nyawa dalam “perangkap” gas helium yang mudah terbakar, tentu sebuah resiko yang harus dibayar. Dalam masa kejayaan NAZI, melayang-layang di udara, terbang bebas menyaksikan pemandangan daratan adalah salah satu impian yang tidak mudah dilakukan. Zeppelin kemudian di era tahun 1937, mewujudkan salah satu caranya. Namun ternyata, impian dan penemuannya itu dimanfaatkan oleh NAZI sebagai sebuah usaha propaganda menunjukkan kebesaran dan kejayaan imperiumnya. Apapun bisa terjadi bila berbicara soal potitik. Dan latar belakang tersebut yang dicoba dielaborasi sebagai cerita, mewarnai tragedi sejarah perjalanan salah satu alat transportasi udara ini.

Salah satu tragedi yang akan tercatat adalah tragedi balon udara Hindenburg, balon udara kebanggaan Jerman masa NAZI berjaya ini tercatat terbang di tanggal 6 Mei 1937 dan dikomandani oleh Kapten Max Pruss

Hindenburg, nama balon udara itu, berangkat dari keyakinan NAZI akan kemegahan dan kecanggihan bangsa Jerman. Menampung 97 penumpang dan puluhan awak dari daratan Jerman, ia membelah langit dengan gagah bersama kibaran logo “swastika di bagian sirip, melintasi Atlantik menuju Lakehurst, New Jersey.

Sebagai film yang dibuat di era tahun 1970 an The Hindenburg mencoba menangkap tragedi nyata tersebut. Sinematografinya memadukan tekhnik pengambilan gambar dari hitam-putih menuju ke multi-warna dan kembali lagi ke hitam-putih. Tekhnik ini merupakan salah satu terobosan kreatif yang tentu mempunyai maksud dalam pijakan jalan cerita keseluruhan. Pemirsa diajak untuk kembali ke masa silam, kemudian ketika bergerak di inti cerita maka sinematografi diubah menjadi multi warna dan kemudian kembali ke hitam putih lagi saat tragedi terjadi.

Tak hanya itu, kerangka dari balon udara dibuat sedemikian rupa mendekati aslinya dengan budget yang tak main-main banyaknya. Yang kemudian di akhir cerita replika kendaraan itu harus dikorbankan dibakar seperti layaknya tragedi nyatanya. Tak salah bila kemudian Academy Award tahun 1976 menganugerahi dengan nominasi Sinematografi terbaik, Best Art Direction, Suara Terbaik dan tentu saja tidak mengesampingkan keberhasilan film ini pada Peter Berkos untuk Efek-efek suara, juga Albert Whitlock dan Robinson Glen untuk Efek Visual.

Bila boleh membandingkan, adegan demi adegan mengingatkan adegan film Titanic di era 2000-an. Jadi bayangkan, bila di era tahun 1975 sudah mampu membuat film semegah Titanic di era 2000 an. Film ini layak mendapat kredit title sebagai film yang cukup revolusioner dalam pijakan sinematografi dan efek visual maupun audio.

Tipikal “Amerika”

Dibuat sebagai rekonstruksi peristiwa sejarah atas meledaknya Hindenburg secara misterius, jalan cerita serta plot yang dibangun di dalamnya dibuat dengan konsep fiksi, termasuk plot sabotase yang menjadi inti cerita. Tidak hanya memuat rekonstruksi meledaknya Hindenburg sebagai klimaks, The Hindenburg juga sebenarnya memasukkan tragedi Graf Zeppelin dan mengganti nama beberapa nama tokoh yang termasuk dalam daftar korban. Tidak hanya itu beberapa nama tokoh pun ditambahkan.

Apa yang tersaksikan adalah bagaimana pola pikir industri perfilman Amerika memandang sejarah tragedi penerbangan Jerman-NAZI. Dalam kebanyakan film produksi Amerika syarat yang kerap terlihat adalah harus mempunyai aktor hero yang menonjol.

Kali ini tokoh utamanya Kolonel Franz Ritter berusaha menyelidiki benar atau tidaknya ancaman bom Kathie Rauch yang mengirimkan surat ke Kedutaan Besar Jerman di Washington DC. Kathie menyatakan bahwa Hindenburg akan meledak setelah mencapai New York. Bersama Martin Vogel, yang adalah seorang perwira Gestapo, Ritter memata-matai penumpang juga awak kabin dan menyisir berbagai kemungkinan pelaku peledakan Hindenburg. Mereka melakukan penyamaran dengan berpura-pura menjadi fotografer.

Kathie Rauch tidak sepenuhnya salah, Boerth, seorang anti-NAZI, salah satu awak kabin, merencanakan sebuah aksi sabotase. Ia meletakkan sebuah bom di sebuah partisi tambalan balon. Dengan serangkaian aksi penyelidikan, detektif-detektif-an, kait mengkait fakta, Ritter mengetahui maksud Boerth. Bukan menangkap boerth, tapi Ritter malah bersimpati karena alasan Ritter merencanakan aksi peledakan bunuh diri karena ia ingin membungkam NAZI dengan alat symbol kejayaannya, balon udara Hindenburg. Boerth malah mengajak Ritter membantunya dengan meminta informasi kapan balon udara dikosongkan. Ritter memang menerima usul Boerth asalkan ada jaminan bahwa tidak ada korban nyawa sipil yang dikorbankan atas aksi tersebut. Ia kemudian juga memberitahukan sebuah perkiraan waktu, bila Boerth dapat menjalankan aksinya yaitu sekitar jam setengah 8 malam. Penunjuk waktu bom akhirnya disetel pada waktu tersebut. Malangnya, karena cuaca buruk Hindenburg baru merapat di New Jersey pukul 19.15 dan penumpang belum juga mendapat perintah untuk turun. Sesuai waktu yang disetel pada pukul setengah 8 malam, Hindenburg meledak. Dan memberangus simbol kemegahan intelektual Jerman-NAZI.

Era tahun 70 an erat kaitannya dengan masa-masa kejayaan dari film detektif spionase, sebut saja James Bond. Hero yang satu ini berpakaian klimis, sisir belah pinggir samping dan minyak rambut. Jangan lupa dengan dandanan necisnya. Bagaimana dengan tokoh-tokoh Hindenburg? Seperti itulah dandanannya, sebut saja jas necis khas James Bond lekat menempel, sangat jauh dari kesan kumal masa resesi tahun 1930-an akhir. Yah mungkin saja hal itu karena penumpang Hindenburg adalah orang-orang kaya.

Selebihnya, ini adalah film megah nan mahal, meski di kalangan publik sendiri berkembang banyak kritik mengenai kegagalan membangun plot cerita yang cambur baur memadukan fiksi dengan sejarah. Banyak logika jalan cerita yang janggal dan luang, bahkan unsur sejarah sendiri pun banyak mengikutsertakan tragedi sejarah lain, yang entah disengaja atau tidak alih-alih sebagai dramatisasi cerita, namun malah mengaburkan sejarah yang ada. Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi bila penulis skrip tetap konsisten mempertahankan judul “The Hindenburg” yang sudah lekat dengan peristiwa sejarah. Karena film bisa juga merupakan sebuah dokumentasi sejarah, apa jadinya bila sejarah diputarbalikkan, dikarang-karang bahkan memasukkan unsur cerita lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan cerita aslinya.