Jumat, 05 Maret 2010

Menjemput Fajar, Mengintip Pantai Karang Bagusan (1)


Sopo sing klempon, bakalan ditinggal
(Siapa yang kesiangan bangunnnya, bakalan ditinggal)

Begitulah kata-kata yang didengung-dengungkan oleh salah seorang karib yang menjadi penaung kami ketika sampai di sebuah kota kabupaten yang letaknya berada di pesisir utara Jawa. Jepara begitu menyebutnya. Sebuah kota yang dahulunya berasal dari sebuah desa yang bernama desa Semat kemudian berganti menjadi Jepara. Sebenarnya seorang karib sudah mengatakan pada saya asal kata Jepara, tapi ya sudahlah berhubung ingatan saya kurang begitu baik menyimpan cerita itu, kalau boleh saya lewati saja cerita itu.

Sewaktu itu, kami, yaitu saya, Gita, Iwan Kriwul, Mas Nawi, dan Mas Iwan Pucang, berkesempatan mengunjungi Jepara dalam rangka undangan untuk mengisi acara Transmisi 2009, sebuah acara festival kesenian yang diprakarsai oleh Pemda Kabupaten Jepara beserta gabungan seniman lokal Jepara. Selain dimeriahkan oleh seniman-seniman Jepara, mereka juga mengundang berbagai komunitas dan seniman-seniman lainnya dari kota-kota lain di Jawa. Tiga hari berturut-turut acara tersebut digelar di depan Museum R.A Kartini, Kompleks Alun-Alun Jepara. Menurut salah satu penggagas acara, kegiatan tersebut digelar dalam rangka mendekatkan seni dan menggiatkan pekerja seni di kawasan Jepara dan sekitarnya untuk kembali menggeliat.

Kembali ke kutipan kalimat diatas, bagi saya yang orang Jawa, baru pertama kali ini saya mendengar kosakata “klempon” dalam pembicaraan ini. Saya hanya mengingat sebuah kata “klepon” yang berarti nama jajanan pasar yang dibuat dari tepung beras atau singkong dengan isian gula merah dibentuk menjadi adonan bola-bola kemudian dikukus dan diberi taburan kelapa parut kukus. Ternyata, apa yang saya kira salah. Setelah saya tanyakan arti kata nya kata “klempon” berarti bangun kesiangan. Kata ini mempunyai padanan kata dengan kata “kawanen” atau “karipan” dalam bahasa Jawa.

Kata itu tercetus ketika di malam sesudah penampilan kami. Mas Pincuk salah satu penggagas acara menjanjikan untuk membawa kami menikmati pemandangan laut khas pesisir utara. Tak salah bila kalimat itu tercetus, ternyata kami ingin ditunjukkan fajar pantai. Pantai Karang Bagusan, begitu masyarakat menyebutnya. Namun ada yang membuatnya berbeda, pantai ini milik pribadi, tidak sembarang orang yang mengetahui keberadaan pantai ini. Boleh dikatakan pantai ini masih perawan, bahkan tidak banyak masyarakat sekitar yang ada disana tahu keberadaannya. Kurang lebih 20 km dari pusat kota, kami memutuskan untuk pergi kesana dengan menggunakan kendaraan truk pick-up putih terbuka milik mas Anam. Kami diantar oleh tiga pemandu Mas Pincuk sendiri, Mas Heri dan Mas Anam yang rela berbaik hati menjadi sopir pick-upnya.

Setelah sampai, kami hanya mendapati sebuah perkampungan nelayan kecil. Di depan kami terdapat sebuah kanal yang menjadi tempat untuk menambatkan perahu-perahu milik penduduk. Kanal itu menyambung hingga di sebelah kiri kami kemudian semakin lama semakin menyempit. Di ujung kanal tampaknya terdapat sebuah daratan kecil yang terpisah oleh kanal seukuran sungai. Mas Heri memandu kami meniti sebuah jembatan setapak yang menghubungkan daratan kecil tersebut dengan bagian pulau. Kurang lebih berjalan lima puluh meter di ujung jembatan, sampailah kami di sebuah pintu usang yang telah rompal.

Tak ada yang menyangka pintu kecil itu jalan menuju “dunia lain”, begitu saya menyebutnya. Pintu itu seukuran seorang dewasa tinggi dan lebarnya. Pintu itu hanya terdiri dari sebilah papan usang yang mulai lapuk dengan engsel yang sangat sederhana ber-kereyot penuh karat. Lebih mirip sebagai pintu gudang tua, daripada sebuah gerbang pulau. Cukup sebuah dorongan kecil saja, maka pintu tersebut terbuka. Masuk ke bagian dalam kami disambut oleh rerimbunan tanaman.

Dalam benak saya, saya cukup heran. Bukannya di awal kami diajak ke pantai bukan ke hutan? Lalu kenapa yang kami temui malah rerimbunan tanaman semacam semak belukar hutan?.....

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar