Jumat, 17 September 2010

Sekelumit Ingatan : Muhammadiyah, "Sang Pencerah", Keluarga Saya dan Lingkungan Saya




Sewaktu "Sang Pencerah" tayang di layar lebar yang pertama terbersit adalah sang sutradara Hanung Bramantyo, yah… sesungguhnya pertama saya terpikat adalah ketika ia menggarap film sebelumnya Perempuan Berkalung Sorban.

Begitulah konsep hidup keluarga Muhammadiyah, ketika saya mulai tertarik pada diskusi film di beberapa stasiun tivi yang ada. Saya tak akan menjelaskan terlalu banyak tentang film tersebut, justru saya akan bercerita tentang hal-hal yang ada di kepala sehabis kami sekeluarga; saya, adik saya dan Ibu saya, menyaksikan film tersebut.

Dibesarkan dalam lingkungan keluarga bernafas ke-Muhammadiyah-an memang tidak asing di telinga saya. Kakek saya dari pihak ayah adalah penggagas Muhammadiyah Blitar, Nenek saya adalah pembina Aisyiyah dan sebuah panti asuhan, sekolah dan Rumah Sakit Aisyiyah Muhammadiyah pertama di kota itu. Sementara nenek saya dari pihak Ibu adalah simpatisan Muhammadiyah Blitar. Ayah saya pernah bercerita, bahwa dalam menghidupi keberlangsungan panti dan organisasi selain mengandalkan donasi, Muhammadiyah tak pernah sekalipun memungut uang apapun dari anggotanya. Nenek saya lebih banyak memutar otak mengajarkan anak-anak asuhnya untuk “berkarya sendiri” menghidupi kebutuhan panti sendiri. Tak jarang nenek dan kakek menyisihkan uang dari kocek pribadi mereka, gaji pegawai PJKA pada masa itu sepertinya sudah tergolong mapan meski untuk menghidupi ke 10 anak (hahahaha.. keluarga yang sangat besar), dibanding keluarga yang lain di era masa penjajahan. Nenek membantu dengan berjualan kue. Kakek saya juga lumayan mahir bermain biola, dan salah satu putranya juga ada yang mewarisi kebisaannya tersebut. Musik merupakan suatu budaya keluarga yang tak pernah lepas dari keluarga ayah saya saat itu. Selain itu Muhammadiyah Blitar juga memiliki akses olahraga rintisan, sebuah lapangan tennis, kakek saya yang juga katanya ada darah ke-Belanda-belandaan, juga mampu bermain tennis, kebisaannya itupun diwariskan ke anaknya.

Sayangnya, ketika masa penjajahan Jepang, semua itu harus lambat laun direlakan keberadaannya. Muhammadiyah Blitar sempat mengalami masa-masa kebangkrutan, anak-anak panti akhirnya diadopsi oleh sesama pengurus, dan keberadaan Rumah Sakit dan Sekolah untuk sementara dikontrol oleh pengurus yang mampu. Masing-masing mengambil tanggungjawab sesuai kemampuan. Di masa itu, nenek dan kakek saya masih mampu menyantuni dan mengadopsi beberapa anak asuh salah satunya malah tinggal bersama keluarga ayah saya, almarhum pakdhe angkat saya. Beliau adalah seorang anak yatim, martir perang mempertahankan kemerdekaan yang terkena cipratan amunisi sehingga matanya mengalami kebutaan temporer.

Dengan latar belakang Muhammadiyah kami mengalami masa-masa kegamangan ketika berada di lingkungan yang berbeda keyakinan dengan kami. Contoh yang sederhana seperti demikian, saya suka bingung ketika keluarga saya suka ditanya oleh orang-orang ketika Ramadhan tiba, sementara kami sendiri tidak pernah menerapkan tradisi itu.

“Kok, nggak pulang buat nyekar?”

Nyekar dalam budaya Islam – Kejawen adalah budaya berziarah ke makam mendoakan di makam itu juga dan mengirim do’a. Kemudian kata nyekar sendiri berasal dari kata sekar dalam bahasa Jawa yang berarti, bunga. Nyekar artinya upacara tabur bunga di makam, bunga yang ditabur juga harus memenuhi syarat tertentu, kembang boreh kalau diistilahkan terdiri dari bunga tujuh rupa, saya lupa pastinya bunga apa saja itu. Kemudian di makam membaca bacaan Tahlil dan surat Yasin.

Keluarga kami juga sering dicap tidak solider dengan lingkungan sekitar kalau misalnya di lingkungan rumah kami ada yang mengadakan tour ziarah ke makam Wali, kemudian memohonkan hajat yang diingini di depan makam Wali. Keluarga kami memilih tidak ikut acara tersebut dan lebih baik tinggal di rumah, paling ibu hanya bisik-bisik menasehati saya. Jasad orang mati yang jadi tanah, mana bisa mengabulkan permintaan, begitu katanya berulang-ulang. Padahal kalau boleh merunut, ada garis keturunan Sunan Ampel di tubuh kakek saya.

“Lha wong, trah’e wae dungone nang omah kok, gek kesrantan-srantan men, wong-wong kae ziarah sing dudu trah’e nang makam wali, trah’e wae dudu. Kuburan keluargane mbuh diurus po ora. Nggur nggo opo?” (red.Yang punya garis keturunan langsung saja berdoanya di rumah, kok ya menyengsengsarakan sendiri orang-orang itu ziarah ke makam wali, padahal bukan garis keturunannya. Kuburan keluarganya entah diurus atau tidak. Lalu untuk apa?)

“Teko lemah, yo baline ndhuk lemah. Ziarah iku mek digawe ngeling-ngeling trah. Soko endi muasal’e. Dudu digawe klenik opomaneh nyuwun-nyuwun nang ngarep sak liyane Allah” (red. “Dari tanah, akan kembali ke tanah. Ziarah itu diperlukan untuk mengingat-ngingat garis keturunan. Bukan dipakai untuk hal-hal yang berbau klenik apalagi dipakai untuk meminta selain kepada Allah")

Satu hal yang membuat saya jadi mikir adalah ketika ibu saya juga tak pernah datang ke acara pengajian Yasinan ibu-ibu. Ibu memilih mengaji sendiri di rumah atau pengajian-pengajan tadarusan yang umum. Kata-kata ibu juga kemudian saya temukan mirip dengan salah satu kutipan di film “Sang Pencerah”

“Gek ngaji kok mbrebeni tonggone, njur Allah iku ngerti suara ati kok arep dibengoki. Lek arep syiar yo ngajine ditepakke, harakat’e, makhraj’e, tajwid’e. Lek nggak nggenah malah nggowo syiar ala nang Islam.” (red. Mengaji kok mengganggu tetangganya. Allah mengerti suara hati kok pake diteriaki. Kalau mau syiar –red.berdakwah- ya ngajinya diperbaiki, harakatnya, makhrajnya, tajwidnya. Kalau ngajinya tidak benar nantinya malah membawa syiar yang jelek pada Islam)

Dan mungkin itu hanya sebagian kecil cerita-cerita mengenai Muhammadiyah, keluarga saya, saya dan lingkungan sekitar saya. Yang jelas keluarga saya tak pernah menolak hantaran berkat tetangga yang kebetulan mampir ke rumah dan meniatkan bahwa tetangga saya sedang berbagi-bagi rejeki, meski kemudian biasanya akan ada secarik tulisan yang tak pernah kami gubris, yang berbunyi :

“Alhamdulillah, usia anak kami telah genap 40 hari” atau “Telah genap 100 hari meninggalnya Ibunda kami”

Yang jelas ibu kemudian berkata,

“Tidak boleh menolak rezeki. Mubadzir itu temannya syaitan”

Kemudian kalau misalnya ketika sisa makanan kami masih ada di piring makan, nenek pernah mengajarkan saya,

“Diniatkan ngasih makan buat hewan-hewan kecil. Jangan diniatkan membuang-buang makanan, sesungguhnya mubadzir itu temannya syaitan”

Begitulah keluarga saya, yang setelah pulang menonton “Sang Pencerah” saya jadi teringat Almarhum Kakek-Nenek saya, dan ajaran-ajaran beliau. Meski kemudian ketika sampai di rumah, saya harus menerima omelan ibu saya ketika saya menyetel tivi dan menonton acara misteri “Dunia Lain”. Jiakakakakakakakakak…. :)

Kamis, 02 September 2010

Sebuah Surat Kepada Sobat

duduklah sebentar sobat, akan kuceritakan padamu sebuah cerita negeri yang bersahabat. tak punya prasangka pada tetangga yang tengah malam mengendap-endap. diintipnya kami bersarungkan batik meliukkan tubuh di kamarnya menari pendet sembunyi-sembunyi. kami ini negeri pemalu, sobat. meski di dada kami suka dijejali tisu-tisu sumpal kebohongan kami adalah orang kaya, meski badan-badan kami sebenarnya langsing kurus kering.



ibunda kami adalah perempuan-perempuan pemberani, sobat. bekal kami gincu dan bedak diblawurkan muka-muka polos kami. keumalhayati menghimpun bala tentara melarungkan berani semerbak ganda mewangi lantak musuh seketika, takhluk. dan jangan sampai kau salah hang tuah adalah leluhur kami. dan kemudian apa yang kau harapkan atas perlakuan kami selain menggeretakkan gigi, mengepalkan tangan menahan getar di dada. setelah kau perkosa anak-anak perempuan kami yang kau panggil membantumu mengepulkan dapur masakmu, kau gebuki anak-anak lelaki kami dengan pentung dan moncong pistol mengarah ke badan, kepala, kaki, tangan semuanya. borgol-borgol menyerimpung dan tali-tali membelit ujung kaki hingga rambut. merobohkan pagar patok melanggar hak, pertunjukan dan lagu ninabobo yang kau alihnamakan.



cukup sobat, kami bukan anjing-anjing penjilatmu, kugigit tubuhmu kami mampu.