Rabu, 18 Agustus 2010

Catatan : Kau dan Aku

Sangat rumit menghadapi hidup, dan akan menjadi naif sekali bila saya bilang bahwa hidup adalah titian yang sederhana untuk dijalani. Saya masih berdiri, masih menulis, masih membaca, masih mencintai buku-buku saya, masih berkelebat di seputaran itu. Apa yang terjadi kemudian bila seseorang yang seharusnya paham akan kecintaan saya sejak kecil, menerali saya dengan keinginannya. Saya mungkin tak akan pernah menjadi dewasa di matanya. Tak akan, dan saya paham. Tapi apakah terus begitu?

Bukankah buah yang terlanjur masak ranum tak bisa lagi dikembalikan menjadi embrio terus menerus.



Saya paham saya bukan anak panah, dan kau juga bukan tali busur seperti kahlil gibran bilang. Tapi apakah harus aku selalu bersisian denganmu seperti anak panah dan busur?



Aku bukan kau, dan tak pernah menjadi kau. Dan aku tak pernah menafikkan kau yang menjadikan aku menjadi "aku".

Jadi hentikan segala usahamu untuk menjadikan aku menjadi kau.



Saya lelah.
----------------
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut
semua suara janganlah takut kepadanya


Kemerdekaan ialah tanah air
penyair dan pengembara jangan takut padanya.

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra.
Bawalah daku kepadanya

(Tentang Kemerdekaan - Toto Sudarto Bachtiar - alm.)

Catatan : Kerajaan Topi Panci Hijau

militer sekarang sudah merupa menjadi kerajaan-kerajaan kecil, dengan permaisuri yang dilembagakan, dilengkapi dengan prajurit dan ajudan-ajudannya. prajurit dan ajudan itu tidak hanya melayani kebutuhan para raja-raja itu, namun juga para permaisuri, selir bahkan anak-cucu sang raja. fasilitas negara tak hanya dipakai oleh para raja-raja 'pengangguran' itu namun juga oleh anak-cucu sang raja.

kemudian apa yang terjadi ketika mereka ditempatkan pada pertempuran yang sesungguhnya?? mereka lebih memilih lari terbirit-brit atau menggunakan pelor dan amunisi nya kepada warga yang membiayai amunisi itu. atau menabrakkan bemper depan kendaraannya kepada sepeda-sepeda tua milik rakyat yang kebetulan melintas lebh dahulu.

tahukah mereka akan arti "mengantri"? saya rasa tidak tahu, mereka hanya mengerti bahwa mengantri adalah mereka menunggu giliran menyalakkan bedil dan senjatanya kepada garda depan tanpa tameng selain kulit dan tulang yang membungkus mereka.

merekalah yang kuberi nama pejuang, berjuang atas nama kebebasan dan hak-hak yang dicerabut oleh pekik lantang yang seharusnya melembut ketika mereka berbicara dengan sekelompok orang yang bernama

: rakyat

Rabu, 04 Agustus 2010

Sang Penanda Catatan Tanah Merah



Gb : saat membacakan puisi "Bara yang Tak Pernah Padam" karya Mawie Ananta Jonie, pada acara Geladak Sastra 6 : Diskusi 3 Buku LEKRA

kalau kau ajariku angkat senjata, aku hanya bisa ambil pena dari kotak kaleng bundar di sudut mejaku. bahkan untuk membelikannya tinta aku harus memasung lidahku pada tiang pancang gantungan. lidahku membiru, bahkan kalau kau mau, berangsur-angsur cairan otakku pun terhisap keluar, membusuk di tanganmu.

tak ada yang tersisa, bahkan hanya sekedar secarik kertas untuk mengganjal salah satu sisi yang timpang di mejaku, jangankan buku, jangankan catatan baru, jangankan penanda peristiwa dulu, jangankan pidato kemenanganku, sungguh benar-benar tak ada yang tersisa

selain topi baret dan lars berbau tiran menginjak pita mesin tik tua ku dan jari tinggal satu mengeja huruf demi huruf nafasku

aku berdiri karena masa lalu yang membentukku, namun aku merdeka untuk menjadi apa saja, pun bukan menjadi ketakutan masa lalu mu...

04082010