Rabu, 17 Maret 2010
Night and Fog (2009): Potret Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Resensi Film)
Genre: Drama
Starring: : Simon Yam Tat Wah
Zhang Jing Chu
Jacqueline Law Wai Kuen
Amy Tan En Mei
Audrey Chan - Ariel Chan
Directed by Ann Hui
Written by Cheung King Wai
Release year: 2009
Language: Cantonese
Subtitle: English
29th Hong Kong Film Awards
• Nominated: Best Director (Ann Hui)
• Nominated: Best Actor (Simon Yam)
• Nominated: Best Actress (Zhang Jingchu)
Seperti yang saya duga sebelumnya Night ang Fog (2009) menjadi tontonan yang menarik untuk dicermati baik dari segi teknis perfilman (sinematografi dan seni peran) maupun dari segi pesan dan inti materi ceritanya yang sarat pesan yang humanis, menyentuh dan nyata.
Night and Fog merupakan potret kasus nyata yang dialami oleh mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan dan kurangnya kepedulian pihak terkait menjadi titik awal pembuka yang menohok saya ketika menyaksikan thriller film ini. Night and Fog kental dengan balutan cerita problematika rumah tangga, persahabatan dan kepedulian, beban psikologis dan depresi dalam latar belakang kemiskinan. Night and Fog dibuka dengan sebuah ending yang menyayat ketika ditemukan mayat pembunuhan keluarga yang ditengarai dilakukan oleh sang suami. Kemudian karena ketakutan akan bertanggungjawab sang suami akhirnya memutuskan untuk mencederai dirinya sendiri. Sayangnya, pisau yang ia gunakan terlalu dalam melukai dirinya dan hal tersebut menyebabkan kematiannya.
Gadis desa Hiu Ling (Zhang Jingchu) menikahi seorang pria Hongkong, Sum (Simon Yam), yang sebelumnya telah mempunyai anak laki-laki dewasa, akibat ia telah hamil dari Sum. Kesenjangan umur mereka sangat jauh. Hiu Ling dan keluarga sebelumnya mempercayai bahwa Sum akan mampu mensejahterakan keluarganya. Namun ternyata keliru. Adik Hiu Ling harus menerima pelecehan seksual dari Sum, sehingga membuatnya harus pergi ke Szenchen sebuah kota yang teramat jauh dari tempat tinggalnya. Hiu Ling yang hidupnya bergantung pada Sum yang ternyata hanya pengangguran dan mengandalkan tunjangan pengangguran dari pemerintah yang tidak seberapa, harus menerima pil pahit akan ketidakmandirian Sum. Hiu Ling, Sum dan dua anak perempuannya yang kembar (Audrey Chan - Ariel Chan) akhirnya pindah ke sebuah rumah susun di Tin Shui Wai sebuah kota dengan potret kesuraman yang pekat. Untuk menyokong kehidupan, Hiu Ling akhirnya bekerja part time sebagai pelayan restoran. Kecemburuan Sum timbul merasa harga dirinya terinjak akibat istrinya yang mampu hidup mandiri dan menghasilkan pendapatan dalam pekerjaan. Meski begitu uang Hiu Ling tidak cukup untuk menyokong kehidupan keluarga tersebut, dilanda frustasi akibat Sum yang tidak bekerja, Hiu Ling menjadi mengungkit-ngungkit sifat buruk Sum yang pemalas ini. Sum yang tidak bekerja akhirnya melampiaskan kekesalan tidak hanya melalui kekerasan psikologis berupa sering marah maupun mengintimidasi Hiu Ling namun juga pada anak-anak mereka. Kemarahan Sum sendiri juga berkembang menjadi kekerasan fisik
Pertengkaran mereka pun harus sering dilihat oleh anak-anak perempuannya. Salah satu anak kembarnya menjadi seorang yang lambat belajar (slow learner), tidak banyak bicara dan menjadi seorang anak yang tidak stabil perilakunya. Sedangkan kakaknya mengambil peranan sebagai kakak yang melindungi, mengambil peranan menjadi guru, dan harus menjawab semua pertanyaan yang diajukan untuk adiknya.
Tak kuat dengan perlakuan suaminya, suatu saat ia harus menginap di penampungan perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ia mengaku merasa bebas. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan petugas sosial diptuskan mereka harus tinggal terpisah. Kedua anak mereka ikut Hiu Ling tinggal bersama kakak dan adiknya di Szechen, dan suaminya harus tinggal di Hongkong sampai mereka memutuskan rujuk kembali. Padahal bukan keputusan semacam itu yang diinginkan Hiu Ling, Hiu Ling ingin berpisah dengan Sum dan bisa hidup mandiri dan mendapatkan tunjangan bantuan dari pemerintah.
Cerita Night and Fog dialirkan dengan menggunakan flashback. Film ini juga cukup cerdas digulirkan dengan melibatkan sosok orang ketiga bercerita, dalam hal ini saksi-saksi yang diinterograsi dalam kasus pembunuhan dan bunuh diri di Tin Shui Wai. Tarikan cerita juga cukup cerdas menangkap sosok Hiu Ling mulai dari masa kecil hingga kematiannya. Gambar yang dihadirkan dalam film ini juga cukup menarik, ketika saya melihat thriller nya saya melihat gambar senja terbalik. Hal ini menarik perhatian saya dan cukup unik.
Pemilihan judul “Night and Fog” juga cukup menggelitik saya, karena ketika saya melakukan penelusuran, Night and Fog juga merupakan judul sebuah film dokumenter tentang kamp konsentrasi NAZI, apakah judul tersebut diambil dari judul film tersebut. Mungkin analisis ini hanya praduga saya, saya jadi menautkan mungkin ada benarnya juga karena ketika Hiu Ling dan kedua anaknya memasuki rumah petak susunnya tersebut ia seperti hanya menunggu bom waktu frustasi yang meledak akibat kemiskinan dan kegilaan maupun juga depresi yang dimiliki oleh Sum.
Dan akhirnya, film ini saya anggap sangat proporsional menempatkan manusia tidak hanya berkisar pada kotak hitam yang terlalu hitam dan putih yang terlalu putih. Hiu Ling digambarkan juga mempunyai sisi ketidakpedulian terhadap perkembangan putri-putrinya. Dan Sum dalam cerita ini memang digambarkan lebih mempunyai kedekatan pada kedua putrinya tersebut.
Nisa Ayu Amalia
Penggemar Buku dan Film, Surabaya
Sabtu, 06 Maret 2010
Peminat Literasi & Masyarakat : Sebuah kesenjangan orientasi literasi
Pengembangan literasi (kesusastraan) pada tingkat-tingkat daerah tampaknya mulai harus diberdayakan kembali. Penggiat-penggiat sastra saat ini tampaknya harus memulai kerja yang ekstra keras, dalam rangka menciptakan suasana literasi/ kesusastraan yang lebih kondusif, supportif dan mendidik.
Berangkat dari sebuah tagline “"Jika aku menulis buku, kemungkinan tetanggaku, tidak akan membaca. Tapi jika aku mendirikan pondok baca, pastinya tetangga, anak tetangga, warga desa tetangga, orang lewat, bisa mampir dan ikut menikmatinya". Kalimat tagline ini saya kutipkan dari sebuah semboyan milis tetangga “tamanbaca”. Inilah yang coba saya angkat sebagai bentuk penyadaran ataupun kalau bahasa saya “colekan” bagi penggiat-penggiat literasi.
Harga buku yang membumbung, dan tidak sebanding dengan derasnya perkembangan siaran televisi yang semakin marak, menjadikan masyarakat tidak punya alternatif sarana pembelajaran dan hiburan yang suportif, mendidik dan atraktif. Daripada membeli buku yang harganya mahal, lebih baik menonton televisi saja yang gratisan. Sementara sajian televisi saat ini kita perhatikan tidak sedikit juga tayangan-tayangan yang seperti tidak mempunyai filter. Saat ini tayangan-tayangan yang disajikan lebih banyak yang monoton, mengumbar kekerasan, konsumerisme, sensualitas, dan budaya membicarakan permasalahan orang lain (acara-acara gosip)
Kalaupun ada masyarakat yang haus membaca, mereka akan disibukkan dengan pergi kesana-kemari mencari perpustakaan, kemudian diributkan dengan proses kepengurusan kartu keanggotaan, ada pula perpustakaan-perpustakaan yang mewajibkan membayarkan uang dengan sejumlah tertentu bagi para peminat baca untuk sekedar menikmati koleksinya. Beberapa perpustakaan telah digagas, mulai dari perpustakaan keliling dengan menggunakan mobil kap terbuka hingga perpustakaan sepeda. Pepustakaan keliling dengan mobil memang mulai diadakan, namun hal ini hanya sebatas pada kota-kota besar, terhitung di Surabaya terdapat 3-5 mobil operasional perpustakaan mobil keliling. Berbeda dengan kota-kota kecil jarang ada bahkan tidak ada fasilitas semacam ini. Hal yang menjadi catatan bagi perpustakaan mobil keliling, adalah mobil operasional yang digunakan masih berkesan terlalu eksklusif. Memang bagi keluarga awam, hal ini menjanjikan kenyamanan, tapi bagi masyarakat kelas bawah (misalnya, pengamen, anak-anak jalanan, dan sebagainya) ini menimbulkan kejengahan, ada perasaan minder ketika mereka dipersilakan membaca di perpustakaan mobil ini. Kultur “mobil” ditengarai tidak “dekat” dengan kultur keseharian mereka yang bersahaja, dan sederhana. Padahal, justru masyarakat dengan tingkat perekonomian seperti inilah yang patut untuk difasilitasi.
Penggiat literasi tampaknya lebih condong meributkan diri pada proses kreasi, penciptaan hasil karya, proses bikin buku sendiri, proses perang counter hegemoni dan sebagainya. Hemat saya, ini justru tidak dipusingkan oleh masyarakat awam. Kalau ada yang lebih memilih menjadi “penggiat literasi” biasanya akan banyak yang berbicara masalah “Karyamu mana?”. Jarang sekali para penggiat literasi yang menanyakan “Karyamu mana, yang berguna bagi masyarakat?”, padahal bagi masyarakat, ini lah yang paling banyak dibutuhkan.
Untuk itu, saya mengajak para “penggiat literasi” untuk sekedar melongok kepada masyarakat, berkacamata pada kebutuhan mereka, dan menjawab kebutuhan mereka dengan sebuah “karya” yang bermanfaat". Karya yang tidak selalu, berbentuk "buat buku sendiri" , mengesampingkan terlebih dahulu “sedikit saja” hasrat yang ada, atas sebuah perdebatan yang tidak terlalu krusial. Pada dasarnya masyarakat tidak kekurangan bahan membaca, namun masyarakat kekurangan sumber daya dalam menyokong minat bacaannya.
* Penulis, Nisa Ayu Amalia, member ESOK, anggota penjaga gerbang ilmu Perpus Emperan ESOK
Sby, 141208
Refleksi Aksi Solidaritas TOLAK PEMBAKARAN BUKU
Apa yang terbersit di otak saya ketika seorang rekan yang sangat mencintai BUKU layaknya jiwanya dan orang-orang yang dikasihinya, menuliskan kalimat berikut di dinding Facebooknya.
Beri aku 10 pemuda yang membara cintanya pada BUKU, dan aku akan mengguncang mereka para pembakar buku itu!!!! Ada yang mau ikut aksi turun jalan?
Begitu lah yang terpampang di dinding beranda beliau.
Aktivitas saya sebenarnya adalah seorang pegawai honorer salah satu konsultan SDM. Tak ada yang dapat menautkan saya dengan sosok Diana Av. Sasa, Redaktur Pelaksana I:BOKOE, selain kecintaan kami dalam sesuatu yang sama. BUKU.
Layaknya orang jatuh cinta, tentu saja saya iri dan cemburu dengan beliau. Dengan gamblang beliau memberikan perspektif baru memperluas wacana saya mengenai sesuatu yang kami cintai buku, sastra dan pergerakan. Dan, kali ini ajakan beliau terus terang membuat saya tergugah.
Sebelumnya, saya telah mengikuti perkembangan berita atas pembakaran buku yang dilakukan pada saat penyaluran aspirasi oleh beberapa elemen masyarakat.
...Rabo, (2/9/09) Front Anti-Komunis (FAK) berdemonstrasi di depan kantor Jawa Pos. Mereka terdiri dari Paguyuban Keluarga Korban Pemberontakan PKI 1948 Madiun, Centre For Indonesian Communities Studies (CICS), Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur, Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), dan MUI Jawa Timur, Forum Madura Bersatu (Formabes) Jawa Timur, DHD ‘45 Cabang Surabaya, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), serta beberapa kelompok lainnya.
Mereka keberatan atas beberapa pernyataan Soemarsono, ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang dimuat dalam tulisan bertajuk, Soemarsono; Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya. Catatan terkait dengan sejarah dan masa lalu Soemarsono tersebut dimuat bersambung tiga seri di halaman depan Metropolis Jawa Pos, 9-11 Agustus 2009, yang ditulis Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan.
Setelah membacakan pernyataan sikap, Arukat, Muhammad Khoiruddin, dan Nazir Zaini (Formabes) beramai-ramai membakar buku testimonial Soemarsono berjudul Revolusi Agustus, Kesaksian Pelaku Sejarah....
Begitulah kurang lebih kronologis berita yang terangkum dari pemberitaan yang saya terima selama ini.
Saya berang sekali ketika turun berita tersebut. Saya telah mengalami sendiri, menjadi korban atas vandalisme, sewaktu saya kecil. Orang yang seharusnya memberi saya panutan justru melarang saya menulis. Bahkan di tahun ke 3 saat saya bersekolah dasar, saya harus mendapati BUKU kesayangan saya DIBAKAR. Buku itu adalah buku harian saya. Maka, seperti menuangkan kembali asam cuka ke luka yang belum kering perasaan saya atas kecintaan pada BUKU dan dunia tulis menulis harus menganga kembali. Apa salah otak saya yang mempunyai pemikiran tersendiri? Salahkah saya yang memilih buku sebagai tempat menuangkan aspirasi dan kegundahan hati. Saya tidak pernah berkonflik dengan kertas, pena dan buku. Mereka adalah teman yang sabar, jujur dan mengerti segala tentang saya. Belajar dari mereka adalah belajar bagaimana membuka wacana, menerima perbedaan-perbedaan dengan kasih dan menghargai. Dan,anda silakan membayangkan bagaimana perihnya ketika karib dan sesuatu yang kita kasihi dimusnahkan, diberangus hidup-hidup di depan mata.
Bagi saya, tak ada hakikat yang mutlak dalam menyokong dan menuju kebenaran yang mendekati kesempurnaan. Namun, hal tersebut akan bisa diraih, bila kita mampu memandang suatu fenomena dari beragam sudut.
Seperti halnya orientasi berikut, ketika sekumpulan orang yang ditutup matanya diminta untuk memberikan deskripsi tentang suatu benda asing. Maka, tentu saja tidak ada jawaban yang sempurna. Fenomena akan utuh kita tangkap, bila kita mampu mengatur jarak dan "membuka mata" kita atas perspektif baru. Jarak dibutuhkan, agar kita dapat memandang sesuatu dengan objektif. Membuka mata adalah agar kita mampu menangkap fenomena secara menyeluruh dan detail. Tanpa perspektif yang menyeluruh kita tidak akan mencapai kebenaran tersebut.
"Membaca" berbagai macam bahan adalah salah satu upaya memperluas wacana dan mengatur jarak terhadap fenomena. Dan itu tidak akan bisa terwujud bila kita hanya melakukan tebang pilih atas informasi yang kita terima.
Maka, bagi saya "Sejarah seharusnya, dikatakan benar bila itu benar, dan dikatakan salah apabila salah". Selamat "MEMBACA" fenomena, dan jangan rusak buku-buku anda.
Nisa Ayu Amalia Elvadiani
(Pecinta Buku dan salah satu Penggagas Perpustakaan Emperan ESOK)
Jumat, 05 Maret 2010
Menjemput Fajar, Mengintip Pantai Karang Bagusan (1)
Sopo sing klempon, bakalan ditinggal
(Siapa yang kesiangan bangunnnya, bakalan ditinggal)
Begitulah kata-kata yang didengung-dengungkan oleh salah seorang karib yang menjadi penaung kami ketika sampai di sebuah kota kabupaten yang letaknya berada di pesisir utara Jawa. Jepara begitu menyebutnya. Sebuah kota yang dahulunya berasal dari sebuah desa yang bernama desa Semat kemudian berganti menjadi Jepara. Sebenarnya seorang karib sudah mengatakan pada saya asal kata Jepara, tapi ya sudahlah berhubung ingatan saya kurang begitu baik menyimpan cerita itu, kalau boleh saya lewati saja cerita itu.
Sewaktu itu, kami, yaitu saya, Gita, Iwan Kriwul, Mas Nawi, dan Mas Iwan Pucang, berkesempatan mengunjungi Jepara dalam rangka undangan untuk mengisi acara Transmisi 2009, sebuah acara festival kesenian yang diprakarsai oleh Pemda Kabupaten Jepara beserta gabungan seniman lokal Jepara. Selain dimeriahkan oleh seniman-seniman Jepara, mereka juga mengundang berbagai komunitas dan seniman-seniman lainnya dari kota-kota lain di Jawa. Tiga hari berturut-turut acara tersebut digelar di depan Museum R.A Kartini, Kompleks Alun-Alun Jepara. Menurut salah satu penggagas acara, kegiatan tersebut digelar dalam rangka mendekatkan seni dan menggiatkan pekerja seni di kawasan Jepara dan sekitarnya untuk kembali menggeliat.
Kembali ke kutipan kalimat diatas, bagi saya yang orang Jawa, baru pertama kali ini saya mendengar kosakata “klempon” dalam pembicaraan ini. Saya hanya mengingat sebuah kata “klepon” yang berarti nama jajanan pasar yang dibuat dari tepung beras atau singkong dengan isian gula merah dibentuk menjadi adonan bola-bola kemudian dikukus dan diberi taburan kelapa parut kukus. Ternyata, apa yang saya kira salah. Setelah saya tanyakan arti kata nya kata “klempon” berarti bangun kesiangan. Kata ini mempunyai padanan kata dengan kata “kawanen” atau “karipan” dalam bahasa Jawa.
Kata itu tercetus ketika di malam sesudah penampilan kami. Mas Pincuk salah satu penggagas acara menjanjikan untuk membawa kami menikmati pemandangan laut khas pesisir utara. Tak salah bila kalimat itu tercetus, ternyata kami ingin ditunjukkan fajar pantai. Pantai Karang Bagusan, begitu masyarakat menyebutnya. Namun ada yang membuatnya berbeda, pantai ini milik pribadi, tidak sembarang orang yang mengetahui keberadaan pantai ini. Boleh dikatakan pantai ini masih perawan, bahkan tidak banyak masyarakat sekitar yang ada disana tahu keberadaannya. Kurang lebih 20 km dari pusat kota, kami memutuskan untuk pergi kesana dengan menggunakan kendaraan truk pick-up putih terbuka milik mas Anam. Kami diantar oleh tiga pemandu Mas Pincuk sendiri, Mas Heri dan Mas Anam yang rela berbaik hati menjadi sopir pick-upnya.
Setelah sampai, kami hanya mendapati sebuah perkampungan nelayan kecil. Di depan kami terdapat sebuah kanal yang menjadi tempat untuk menambatkan perahu-perahu milik penduduk. Kanal itu menyambung hingga di sebelah kiri kami kemudian semakin lama semakin menyempit. Di ujung kanal tampaknya terdapat sebuah daratan kecil yang terpisah oleh kanal seukuran sungai. Mas Heri memandu kami meniti sebuah jembatan setapak yang menghubungkan daratan kecil tersebut dengan bagian pulau. Kurang lebih berjalan lima puluh meter di ujung jembatan, sampailah kami di sebuah pintu usang yang telah rompal.
Tak ada yang menyangka pintu kecil itu jalan menuju “dunia lain”, begitu saya menyebutnya. Pintu itu seukuran seorang dewasa tinggi dan lebarnya. Pintu itu hanya terdiri dari sebilah papan usang yang mulai lapuk dengan engsel yang sangat sederhana ber-kereyot penuh karat. Lebih mirip sebagai pintu gudang tua, daripada sebuah gerbang pulau. Cukup sebuah dorongan kecil saja, maka pintu tersebut terbuka. Masuk ke bagian dalam kami disambut oleh rerimbunan tanaman.
Dalam benak saya, saya cukup heran. Bukannya di awal kami diajak ke pantai bukan ke hutan? Lalu kenapa yang kami temui malah rerimbunan tanaman semacam semak belukar hutan?.....
-bersambung-
Saya dan Dewan Pembaca Indonesia Buku
Postingan berikut adalah postingan kegiatan saya yang diselenggarakan dan dirangkum oleh Komunitas Indonesia Buku, saat itu saya mendapat kehormatan untuk mencoba menjadi Dewan Pembaca, tim pembedah, dan mendiskusikan sebuah buku dalam periode yang telah ditentukan. Artikel ini telah diarsipkan sebelumnya pada situs Indonesia Buku dan di sini
LASMI: TANGGAPAN DEWAN PEMBACA
Diposting oleh Diana AV on Feb 20th, 2010 di topik Sidang Pembaca. Anda dapat mengikuti diskusi pada berita ini melalui RSS 2.0. Anda bisa juga meninggalkan komentar dan trackback
“Sebuah fragmen dalam sejarah Indonesia yang ditulis dengan sangat intens, deskriptif, dan tidak memihak,” tulis Noorca M. Sardi di sampul depan novel Lasmi.
Rama Prabu dari tanah Parahyangan sontak menghentak dan berseru: “Komentar itu hanya penghias sampul. Lipstick saja. Kontras sekali dengan isi dan kesimpulan yang ditulis di sampul belakang. Jelas sekali sinopsis itu tidak berimbang dan memihak.”
Prabu mengurai, “Pengakuan penyesalan Lasmi karena beliau menjadi aktivis (ketua Gerwani desa) menjadi sebuah kontradiksi dengan sifat Lasmi di awal cerita. Lihat kesaksiannya ‘…aku tak pernah menyangka sama sekali bahwa menjadi bagian dari Gerwani kemudian bisa dikategorikan sebagai dosa sosial. Andaikan aku tahu Sut, tentu aku tak ingin terlibat. Andaikan aku bisa meramalkannya Sut, aku tak ingin mengambil risiko sebesar itu. Sungguh, engkau pun tahu, aku menyukai kegiatan yang menyangkut masyarakat jadi lebih pintar dan mandiri, namun aku bukan orang yang berani mempertaruhkan nyawa anak kita…’”
“Alasan meninggalnya Gong inilah yang menjadikan Lasmi terpuruk secara ideologis. Tapi penerbit telah salah menginterpretasikan keterpurukan idiologis dan psikologis Lasmi dengan mengatakan bahwa dia terjerumus semangat zaman, menjadi tokoh organisasi perempuan Gerwani dan mengatakan bahwa Gerwani, organisasi kaum perempuan yang ikut terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Sejauh manakah kayakinan itu?”
Keresahan Prabu mengenai latar sejarah ini diamini Diana Sasa, yang sedari awal mengawal jalannya sidang. Kata penulis dari Surabaya ini: “Setahu saya, aktivis Gerwani adalah kader-kader terpilih. Mereka yang tertangkap, tersiksa, dan terbuang nyaris di sepanjang sisa hidupnya pun, tak pernah saya dengar menyesali diri telah menjadi bagian dari Gerwani. Mereka adalah kader ideologis yang militan.”
Untuk menguatkan pendapat itu Sasa coba menyurungkan data dari tiga orang periset Gerwani. Saskia E Wieringa (Penghancuran Gerakan Perempuan dan Kuntilanak Wangi), Fransisca Ria Susanti (Kembang-kembang Genjer), dan Hikmah Diniah (Gerwani Bukan PKI). Dari ketiganya tak ada kesimpulan bahwa gelombang besar aktivis utama Gerwani menyesal telah bergabung.
Menurut jawara blog resensi, Nur Mursidi, dalam novel ini, sejarah peristiwa tragis 1965 memang hanya dijadikan tempelan, sehingga nyaris tak memberikan aroma baru kecuali keberadaan tokoh dengan pernik-pernik permasalahan dan setting cerita (di sebuah desa di Malang). Padahal, novel sejarah sebenarnya bisa dijadikan sebuah rekonstruksi. Tapi, dalam novel ini hampir tak ada fakta baru yang disuguhkan oleh pengarang. PKI tetap sebagai tertuduh dan Lasmi tidak lebih sebagai korban.
“Saya menyayangkan keputusan penulis membawa isu sentral rekonsiliasi nasional ke ranah fiksi dengan proporsi lebih banyak unsur sejarah dan idealogis dibanding unsur cerita. Lasmi menjadi seperti ‘kue lemper’ yang enak dengan kesederhanaannya, namun didandani plot historis, kultural yang penuh dan kurang pengendapan. Saya merasa membaca protes sosial di masa kini, diteriakkan perempuan aktivis masa kini dibanding novel tentang aktivis Jawa, dari sudut pandang suaminya. Singkatnya, saya kebingungan apakah membaca esei dengan potongan data mentah, atau novel tapi minim konflik manusia di masa itu? Coba simak dialog hal. 72, kata ‘…Oke ya, Pak?’ saat menjadi pembicara masyarakat tani masa itu, saya rasa sungguh janggal,” urai si pemilik suara merdu, Nisa Diani.
“Riset adalah kelemahan mendasar dari novel ini. Sangat lemah sekali. Bertaburnya kata ‘konon’ dan ‘kabarnya’ menjadikan novel ini semacam novel sejarah konon. Katanya dan katanya. Misal, ia tak dapat menjelaskan mengapa orang Jawa tak mengenal nama belakang atau nama keluarga. Juga alasan apa orang Jawa meletakkan bendera putih di tonggak atap rumah ketika mendirikan rumah. Di sini, ia bersembunyi di balik kata entah, konon, kabarnya, mungkin, yang menurut saya membuatnya kerdil,” tandas Sasa.
“Kekuatan sebuah novel memang terletak pada kekuatan narasi,” lanjut Mursidi. “Tapi dalam kepenulisan novel, dikenal sebuah penulisan dengan cara menggambarkan, bukan menceritakan. Pada aras inilah, Nusya Kuswantin kerap berlaku menceritakan dan lemah dalam penggambaran. Tak salah, novel ini pun serasa kering dan mirip catatan diary Sutikno (tokoh ‘aku’) untuk mengenang keberadaan Lasmi, istrinya yang mati dieksekusi karena menjadi korban. Capaian estetis yang dielaborasi pengarang pun ‘tidak mendedahkan teknik baru’. Maka, cerita pun berjalan dengan datar, tidak berpilin, dan njelimet. Bahkan kering dialog. Padahal, keberadaan dialog bisa membangun kekuatan sebuah alur.”
Segendang dengan Mursidi, Rama Prabu mencatat bahwa memang selain novel ini sangat minim dialog, penokohan Sutikno (Tikno) dan Lasmi pada beberapa dialog di awal bab tidak konsisten dalam menggunakan istilah dan kelugasan penggunaan bahasa. Penempatan istilah panggilan untuk istri, ibu mertua dan bapak mertua masih disamakan dengan sebutan yang sama seperti pada orang lain. Padahal dihayati atau tidak, aku di sini telah menjadi bagian yang satu dalam ikatan keluarga sebagai tokoh yang bercerita. Beberapa istilah bahasa daerah (Jawa) banyak yang tanpa catatan kaki yang bisa dipastikan akan menyulitkan pembaca di luar kultur dan penguasaan bahasa Jawa.
Hernadi Tanzil, resensor dari sebuah pabrik kertas di Bandung, juga menyayangkan kurang tereksplorasinya karakter Lasmi sebagai tokoh sentral. Karena dituturkan melalui sudut pandang suaminya, otomatis pembaca tak banyak mengetahui bagaimana konflik batin yang dirasakan Lasmi selama masa-masa perburuan terhadap dirinya. Hal ini hanya terungkap melalui surat panjang Lasmi untuk suaminya. Walau telah tewakili oleh surat tersebut tentunya akan lebih menarik jika di sekujur novelnya ini pembaca akan disuguhkan konflik batin yang dialami Lasmi terutama saat masa-masa perburuan terhadap dirinya.
“Saya juga merasakan kesan bahwa penulis kurang sabar dalam mengembangkan kisah Lasmi ini. Ada beberapa hal yang sebetulnya bisa dikembangkan, misalnya kisah pelariannya yang nampak kurang tereksplorasi dengan baik. Semua terjadi selewat-selewat saja padahal jika hal ini dikembangkan pasti akan lebih menarik lagi,” lanjut Tanzil.
Soal alur pelarian ini, Rama Prabu sependapat dengan Tanzil. “Pembaca tidak dibawa merasakan adegan pada kondisi tahun 1965. Penulis mungkin lupa bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan dari tulisan ini sehingga pembaca benar-benar merasakan pelarian, perburuan Lasmi dan Tikno sang suami yang akhirnya gila itu menjadi lebih mencekam. Bisa saja suatu ketika Lasmi harus melakukan pelarian yang tak bisa terbayangkan oleh pembaca. Perhatikan saja hampir tak ada adegan kerjar-kejaran dan sembunyi yang mengendap senyap di semua jalur perburuan pelarian Lasmi, yang ada hanya pindah-pindah ‘ngungsi’ dari satu tempat kerabat ke kerabat lainnya.”
Dan di tengah novel, semua anggota Dewan Pembaca dibuat terkejut dengan munculnya transkrip pidato Bung Karno. Transkrip itu menghabiskan berlembar-lembar halaman dalam novel ini. Menurut Tanzil, “Hal ini bisa jadi bumerang, di satu pihak mungkin ada orang yang suka, namun di lain pihak bagian ini bisa jadi membosankan karena seolah terlepas dari alur kisah yang sedang dibangun.”
Dengan manis, Nisa mencoba memberi permakluman, “Tampaknya latar belakang penulis mempengaruhi cara berceritanya. Latar belakang penulis yg aktivis, jurnalis mungkin terlanjur terbiasa menulis dengan struktur dan gaya non fiksi yang rigid. Penulis sepertinya gamang ketika memasuki dunia fiksi sekaligus membahasakan data non fiksi (sejarah) dalam tataran kehidupan sehari-hari di masa itu.”
“Meski demikian, novel ini tetap tidak bisa dikatakan sebagai sebuah novel yang gagal atau tidak berhasil,” tutur Mursidi. “Pengarang berhasil membangun karakter Lasmi dengan kuat. Pada akhir kisah bahkan pengarang meneguhkan bahwa pilihan Lasmi menjalani eksekusi itu sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus protes secara masif –menggugah orang untuk memikirkan tragedi pembantaian massal yang terjadi di negeri ini. Tidak salah, kalau pengorbanan Lasmi itu sebagai bentuk anti-kekerasan. Selain itu, dalam hubungan antara suami dan istri dalam rumah tangga, novel ini terasa kuat menggelorakan emasipasi terhadap wanita –persamaan derajat.”
Rama Prabu setuju novel fiksi historis ini selayaknya dapat dijadikan bahan pengingat bahwa pasca tragedi 30 September itu banyak nyawa yang hilang dalam pembantaian masal, ada banyak keluarga yang tercerai-berai, ada banyak silsilah yang tercerabut dari jalur kemanusiaan. Kini, kita hanya bisa mewartakan bahwa hal demikian bisa saja terjadi disaat ini dan masa depan ketika kita tak bisa mengharga nilai perbedaan dan kemanusiaan! Jalur keadaban manusia hanya ada di tangan manusia, dan kita adalah manusianya!
Demikian pula Tanzil, ia setuju bahwa dalam novel ini penulis berhasil menguggah kesadaran pembacanya untuk memaknai peristiwa pembantaian di tahun 65 dalam perspektif kemanusiaan.
Andreas, aktivis Paris Van Java yang sedari awal tak banyak bicara akhirnya pun menimpali. Tulisnya: “Novel ini adalah kesaksian semangat zaman tentang retorika penguasa, masa silam, mimpi buruk, perjuangan yang gigih, harapan klise dan pilihan yang penuh penyesalan yang dengan cepat menjerat dan memerangkap kita dengan telak. Kekuatan naratif dalam melodrama novel ini secara perlahan-lahan namun pasti, berhasil menyeret kita pada rahasia hitam sejarah Gerakan Wanita Indonesia yang lama terbungkam. Dengan telak menawarkan sejumput keberpihakan kepada dua pihak yang sedang bertarung demi suatu kemenangan kecil, tapi menghasilkan kekalahan yang sama-sama besar.”
Lasmi, lanjut Andreas, adalah novel realis yang nyaris surealis. Ada kebahagian yang aneh dalam penderitaannya, sekaligus penderitaan yang ganjil bahkan dalam kegembirannya. Kisah yang sangat pedas, mengambang dan gelisah tentang bagaimana menghargai sebuah pilihan. Ada tetirah yang indah sekaligus mimpi buruk dalam perjuangan Lasmi. Ada darah dan airmata yang subtil. (DS)
Menelusur Jejak R.A. Kartini : Perempuan bangsawan, terpelajar, penyuka seni kelahiran Jepara
Dalam rangka undangan untuk mengisi acara Transmisi 2009, sebuah acara festival kesenian yang diprakarsai oleh Pemda Kabupaten Jepara beserta gabungan seniman lokal Jepara kami, yaitu saya, Gita, Iwan Kriwul, Mas Nawi, dan Mas Iwan Pucang, berkesempatan mengunjungi Jepara. Selain dimeriahkan oleh seniman-seniman Jepara, mereka juga mengundang berbagai komunitas dan seniman-seniman lainnya dari kota-kota lain di Jawa. Tiga hari berturut-turut acara tersebut digelar di depan Museum R.A Kartini, Kompleks Alun-Alun Jepara yang merupakan jantung kota tersebut. Sembari menunggu giliran penampilan tak ada salahnya kami melongok-longok sekejap isi dari bangunan Museum tersebut. Kami masuk begitu saja tanpa membayar tiket yang biasanya dibandrol dengan nominal Rp. 1000, untuk dewasa. Pada saat itu memungkinkan, karena kebetulan kami adalah salah satu pengisi acara dalam pagelaran kesenian yang diadakan oleh Pemda Jepara.
Di bagian depan kami disambut dengan patung ukuran setengah badan R.A Kartini yang terbuat dari perunggu. Ketika masuk ruangan demi ruangan memang tidak ada pengunjung lain, sehingga kami dengan leluasa menelusuri satu demi satu ruangan yang ada. Aroma kayu jati khas ditambah suasana remang-remang, menjadi salah satu suasana yang mungkin akan dirasa kurang nyaman bagi beberapa pengunjung. Beberapa rekan bahkan mengakui ketika masuk ruangan museum akan diserbu dengan perasaan merinding dan mampu menegakkan bulu kuduk. Namun keasyikan menjelajahi jejak perjuangan Ibu Kartini jauh lebih membangkitkan rasa penasaran saya saat masuk ke bangunan tersebut.
Ruang Museum R.A. Kartini terbagi atas 4 ruang utama sebenarnya, Ruang pertama adalah ruang menyimpan dokumentasi penting koleksi peninggalan RA Kartini. Ruang kedua, adalah ruang yang menyimpan dokumentasi sejarah atas Kakak dan seseorang yang cukup berpengaruh atas pemikiran R.A Kartini, yaitu DRS. R.M.P Sosrokartono seorang sarjana lulusan Leiden, Belanda yang menguasai 26 bahasa, dan merupakan ahli pengobatan dengan media air putih dan sarana kata agung “Alif (Ùµ)” Ruang ketiga, berisi koleksi benda-benda yang bernilai sejarah antara lain terdapat tulang ikan raksasa “Joko Tuwo” dengan panjang kurang lebih 16 meter, berat kurang lebih 6 ton, lebar 4 meter, tinggi 2 meter dan kurang lebih berumur 220 tahun. Tulang ikan ini ditemukan di perairan Karimunjawa pada pertengahan bulan April 1989. Ruang Keempat berisi koleksi kerajinan Jepara, ukir-ukiran, keramik, anyaman bambu dan rotan, hasil karya lomba ukir serta alat transportasi jaman dulu.
Ruang koleksi peninggalan R.A. Kartini dibagi dengan partisi yang lebih kecil lagi, yaitu masa kecil R.A. Kartini dan masa sesudah ia menikah. Dalam ruangan ini selain terdapat peninggalan asli R.A Kartini seperti mesin jahit, kotak bothekan atau penyimpan jamu-jamuan R.A. Kartini, juga terdapat dokumentasi replika tulisan tangan R.A. Kartini.
Akan datang jua kiranya keadaan baru dalam dunia Bumi Putera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain.
Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme itu dengan segala apa yang ada pada kami. Dan andaikan hanya ada satu potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia.
Dan siapakah yang lebih banyak dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia ialah wanita, ibu, karena haribaan ibu itulah manusia, mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali.
Kaum muda masa sekarang, tiada pandang pria atau wanita, wajiblah berhubungan masing-masing sendiri-sendiri memang dapat berbuat sesuatunya akan memajukan bangsa kami, tetapi apabila kita berkumpul, bersatu, mempersatukan tenaga, bekerja bersama-sama, tentu usaha itu akan lebih besar hasilnya.
Kemenangan seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri.
Kelima potongan pesan tersebut terpampang terpahat pada lima potongan besar kayu jati ukiran ukuran tinggi kurang lebih 2 m dan lebar 1,5 m. Kelima pesan tersebut merupakan beberapa pesan yang termaktub dalam penggalan surat-surat R.A. Kartini.
Ukiran pesan kayu tersebut juga dapat ditemui bila kita mengunjungi sebuah situs sejarah yang berada di kawasan pusat kota Jepara ini. Museum R.A Kartini, bangunan yang diperuntukkan untuk menyimpan dokumentasi sejarah, pahlawan perempuan Indonesia, dan beberapa koleksi sejarah lain Jepara.
Di samping, mengembangkan pemikiran-pemikiran radikal nasionalisnya, Kartini dan saudara-saudara perempuannya juga merupakan bangsawan yang sangat menyenangi kesenian, beberapa lukisan hasil karya saudara Kartini maupun karya Kartini sendiri juga dipamerkan, disamping hasil kerajinan tangan berupa renda dan sulaman tangan R.A. Kartini.
Setelah masuk satu demi persatu ruangan kami memperoleh banyak bekal, sebuah pesan pendek yang membuat saya selalu terngiang-ngiang hingga kisah perjalanan ini dikisahkan. Sebuah pesan tentang menghargai arti dan makna peran seorang ibu bagi perkembangan derajat dan budi seorang manusia.
Dan siapakah yang lebih banyak dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia ialah wanita, ibu, karena haribaan ibu itulah manusia, mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali
(Penulis, Nisa Ayu Amalia)
Ref.:
1. Museum Kartini, http://navigasi.net/goart.
2. Museum Kartini, http://www.indonesia.go.id
3. Museum R.A. Kartini, http://www.museum-indonesi
dimuat di
http://yanahaudy.net/?Library:Istimewa:Mengecap_Jejak_RA%26nbsp%3BKartini_di_Jepara
(Elle Eleanor) Thriller Tipikal : Sebuah kegagalan pembaruan plot
Penulis: Zeventina OB, Ferry Herlambang Zanzad (Pseudonim : Zev Zanzad)
Terbit : Juni 2009
Penerbit: Kakilangit Kencana
ISBN: 9786028556xxx
Ukuran: 12,5 x 20
Cover: SC
Halaman: 455 /
Berat Buku: 450 gram
Berapa persen dari anda yang pernah berlibur? Utamanya ke villa? Berhati-hatilah karena tampaknya villa bisa menjadi mimpi buruk anda. Bahkan dalam pembicaraan yang ekstrem, villa bisa menjadi tempat anda menjemput maut. Semoga tidak ada pengusaha atau investor villa yang membaca tulisan saya hehehehe… ^^
Sudah banyak sekali sineas-sineas asing dan dalam negeri ataupun penulis-penulis cerita thriller yang membidik lokasi asing nan misterius yang dikunjungi sebagai setting dalam cerita thriller mereka. Setting seperti rumah kosong, villa angker yang jauh dari keramaian ataupun tempat-tempat rekreasi asing, sudah terlalu sering diceritakan. Kemudian tokoh-tokoh tersebut terjebak dalam urban-legend yang diyakini keberadaannya pada lokasi tersebut. Sebut saja beberapa judul film berikut yang memanfaatkan setting lokasi-lokasi tempat-tempat misterius Kuntilanak, Donkey Punch, I Know What You Did Last Summer, Quarantine, Farm House, The Strangers, Suster Ngesot, Suster N, Lawangsewu, House of Wax, Captivity, Turistas go home, KM 14, The Other, The Ghost of Mae Nak dan masih banyak lagi daftarnya.
Rata-rata alur cerita tersebut berjalan dengan tema cerita demikian, sekelompok pemuda sukses, nan cantik dan rupawan, kaya sedang melakukan perjalanan liburan, memilih sebuah villa. Tempat yang wajar bagi mereka sehubungan dengan kekayaan yang mereka miliki. Mereka berniat bersenang-senang melepas penat. Namun apa yang ditemukan disana, ternyata sebuah misteri peristiwa traumatik masa lalu, kegilaan-kegilaan yang tak terungkap dan dendam-dendam terselubung yang menaungi para penghuni dan pengelola villa tersebut.
Namun, jika anda sudah terlanjur menginap di rumah besar itu, jangan khawatir, ada cara ampuh agar anda bisa selamat melewati teror demi teror.
Pertama, jadilah yang paling berani dan pimpinlah kelompok anda dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Jangan bertindak tanggung-tanggung atau setengah-setengah, karena anda pasti tidak akan selamat.
Kedua, jika anda tidak bisa menjadi orang pertama dalam kelompok anda, jadilah orang kedua yang selalu bisa diandalkan oleh orang pertama. anda pasti akan selamat.
Ketiga, jadilah orang yang paling tidak penting, anda bisa memilih menjadi orang yang paling penakut, atau menjadi orang yang paling lucu. atau menjadi orang yang paling malas. Pokoknya jadilah orang yang paling tidak melakukan apa-apa, jangan sok berani, jangan sok bijak, cukup diam dan selalu mengiyakan perkataan orang pertama dalam kelompok anda, atau kalau ada apa-apa selalu lah bersama dengan orang yang paling berani, anda pasti akan selamat.
Kalau anda menemui jalan atau rute baru jangan ambil resiko, kembali saja ke ruangan yang menurut anda paling anda ketahui, jangan bertindak bodoh untuk menelusur mencari jalan baru.
Tidak perlu anda berpusing-pusing mencari siapa dalang dibalik semua teror. Carilah orang asing yang paling jelek anda temui, atau orang yang paling misterius. Atau orang yang menurut anda tidak begitu penting namun keberadaannya selalu anda lihat di mana-mana.
Dan yang terakhir, anggap saja ini adalah saran yang paling konyol, kalau terjadi hal yang tidak sesuai dengan petunjuk diatas maka sudah saatnya anda menghubungi penulis. Mereka tahu kemana arah cerita anda. :D
Membaca Elle Eleanor adalah seperti membaca deretan plot tersebut, plot yang terlanjur banyak diulang-ulang oleh para penulis, tidak ada kebaruan. Dalam waktu singkat pun saya bisa menebak gambaran akhir cerita nya. Meski sejujurnya saya cukup terpikat dengan prolognya yang lumayan bisa membuka wacana kebaruan plot thriller ini. Detail psikologi yang pada konteksnya dan tergolong masuk akal juga sesuai dengan latar belakang karakter juga sudah mampu tergarap. Hanya tetap saja hal yang saya kagumi tersebut, hanya merupakan ornamen saja dari keseluruhan cerita tersebut. Dan akhirnya, kembali lagi kita terjebak pada plot yang itu-itu saja sebuah plot yang tipikal kita temui seperti di atas yang telah saya coba ungkapkan.
Georgia Rule (2007)- Film
Category: | Movies |
Genre: | Drama |
Cast
- Jane Fonda as Georgia Randall
- Lindsay Lohan as Rachel Wilcox
- Felicity Huffman as Lilly Wilcox
- Dermot Mulroney as Simon Ward
- Garrett Hedlund as Harlan Wilson
- Cary Elwes as Arnold
- Héctor Elizondo as Izzy
- Dylan McLaughlin as Sam
- Zachary Gordon as Ethan
- Laurie Metcalf as Paula Richards
- Tereza Stanislav as Violin Teacher
- Fred Applegate as Townie #1
- Cynthia Ferrer as Townie #2
- Destiney Moore as Waitress
- Christine Lakin as Grace
- Shea Curry as Melodee
"Kepribadian seseorang dibentuk atas nature dan nurture"
Tiga perempuan beda generasi, mempunyai prinsip masing-masing. Namun dari gen yang sama. Sama sama keras kepala dalam memegang prinsipnya.
Cerita diawali dari perasaan ketidakmampuan seorang ibu, Lily (Felicity Huffman) dalam mengasuh Rachel (Lindsay Lohan), mulai dari kegagalan Rachel dalam lulus ujian SMU dengan tepat waktu, sampai sikap "liar" Rachel yang tidak menuruti diucapkan oleh Lily. Akhirnya Rachel dititipkan ke Neneknya, Matriarch Georgia (Jane Fonda). Lily sangat mengeluhkan sikap Rachel yang tidak bisa diatur, pembuat masalah, dan selalu berbohong. Rachel membenci sikap Lily yang tidak peduli, pemabuk dan perokok berat. Lily mempunyai ketidaksetujuan terhadap Georgia atas gaya pengasuhan yang terlalu ketat, disiplin bahkan menjurus otoriter.
Intrik psikologis sangat apik dimainkan oleh Mark Andrus sang penulis naskah memainkan logika psikologi pencarian cinta tak bersyarat tokoh-tokohnya, kebingungan pencarian jati diri akibat ketidakkonsistenan gaya pengasuhan yang diterapkan antara Georgia dan Lily, juga pencarian akan kebohongan dan kebenaran sejati.
Kebingungan Rachel dalam mencari-cari pemenuhan kebutuhan cinta yang tanpa syarat terangkum atas kerinduannya akan figur seorang ayah. Lily pergi keluar kota meninggalkan ayah Rachel dan jatuh cinta pada seorang pengacara yang melakukan tindakan pelecehan pada Rachel pada saat rachel berumur 12 hingga 14 tahun. Trauma masa kecil ini lah yang membuat Rachel tidak nyaman akan perkembangan kepribadian dan keadaan psikologisnya. Ia mulai merasakan kebingungan dalam menentukan rasa "cinta" yang diberikan oleh orang lain, apakah itu nyata dan tak bersyarat, ataukah hanya sebuah pemanfaatan seperti yang dilakukan ayah tirinya padanya.
Sehabis menonton film ini saya jadi merenung gaya pengasuhan Mak-Pak saya, puisi saya yang judulnya "Perintah Sang Jenderal (Ver. Orangtua)" dan kata2 dosen kesayangan saya yang bunyinya kira2 seperti ini.
"Bila mau memilih, gaya pengasuhan otoriter, lebih baik daripada gaya pengasuhan permisif"
Kecemasan akibat takut salah, lebih tidak menimbulkan ketidak"berbahaya"an dibandingkan sebuah kecemasan pencarian jati diri.
Benarkah?
Perhaps Love (2005)
Category: | Movies |
Genre: | Romance |
CAST
- Takeshi Kaneshiro as Lin Jiandong / Zhang Yang
- Zhou Xun (周迅) as Sun Na / Xiaoyu
- Jacky Cheung as Nie Wen / The Circus master
- Ji Jin Hee as Monty
- Sandra Ng Kwan Yu as Lin's manager
- Eric Tsang as Nie's producer
Hobby menonton film aku temukan kembali ketika menghadapi kebingungan ditengah mengisi waktu liburan. Saat itu posisi modem speedy dan laptop rusak secara bersamaan. Sehingga bingung mencari hiburan. Untung di rumah pasang tivi kabel.
Plot cerita film drama musikal ini mengambil tema cinta segitiga. Bukan hanya atas tiga tokoh yang terbelit atas cinta mereka, namun tiga elemen yang mereka cintai, yaitu "cinta, cita-cita, dan kehidupan bahagia" .
Kisah cinta masa perkuliahan Lian Jiantung (Takeshi Kaneshiro) pada Suen Na (Zhou Xun), menghadapi cobaan atas deraan himpitan perekonomian yang dihadapi keduanya. Untuk menyokong itu semua, Lian Jiantung dan Suen Na berusaha mewujudkan cita-citanya, Lian Jiantung bercita-cita menjadi penulis script, dan Suen Na bercita-cita menjadi seorang aktris. Cobaan berturut-turut dihadapi Suen Na dalam mencapai obsesi nya. Hingga ia memutuskan meninggalkan Lian Jiantung untuk mengejar cita-citanya.
Sepuluh tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali oleh Nip Man (Jacky Cheung) seorang sutradara terkenal yang telah menikahi Suen Na. Mereka dipertemukan dalam sebuah naskah besutan Nip Man, dan mereka bertiga bermain peran di dalamnya. Lian Jiantung pun telah bergeser cita-citanya, tidak menjadi seorang penulis script, namun menjadi aktor, profesi sama yang dijalani oleh Suen Na, kekasih masa remajanya.
Meski, berpisah sekian lama Lian Jiantung masih menyimpan perasaan cintanya yang mendalam pada Suen Na. Dan Suen Na diambang kebimbangan antara setia pada Nip Man, yang digambarkan sebagai seorang yang menghapus kenangan masa lalu Suen Na, dan memilih cinta sejatinya pada Lian Jiantung.
Ending dari kisah roman ini dibuat khas "roman" dalam artian meski digambarkan bahwa Nip Man gagal memiliki cinta Suen Na, namun itu hanya berkisar dalam naskah film nya saja. Dan pada akhirnya penulis membiarkan penikmat mereka-reka kisah percintaan mereka.
Ketika saya menonton film ini, saya jadi teringat dengan film musikal "Moulin Rouge" baik dari tema-tema aransemen musik, tata artistik, maupun tata gerak.
Untuk sisanya, silakan nikmati saja alunan apik percintaan tiga tokoh dan tiga elemen percintaan (mungkin), yang film ini tawarkan.
Next ! - France Movies (Apa yang akan terjadi berikutnya?)
Category: | Movies |
Genre: | Drama |
Actors : Alexandra Lamy, Clovis Cornillac, Juliette Roudet, Jerry Rudes, Rastko Jankovic, Charlotte Nguyen, Marie-Christine Adam, Louis Do de Lencquesaing , Myriam Tekaïa, Charlie Nune, Juliette Poissonnier, Samantha Benoit, Roland Menou, Marie Micla
Setting film ini mengambil suasana di balik layar pembuatan film. Josephine-Jo (Alexandra Lamy) merupakan seorang sutradara casting lajang yang baru saja menghadapi kematian anjingnya Dee-Dee dan bertemu dengan Bernard (Clovis Cornillac) yang saat itu mempunyai perusahaan jasa konsultan pemakaman anjing milik saudaranya.
Dilanda kesedihan yang luar biasa, Jo secara kebetulan bertemu seorang yang mengaku sebagai pengungsi imigran dari Serbia yang butuh tempat tinggal, ia didesak untuk menolong pengungsi tersebut untuk menampungnya semalam di rumahnya. Dan dengan terpaksa Jo harus meluluskan paksaan pengungsi Serbia tersebut. Tidak dibayangkan sebelumnya si pengungsi Serbia tersebut malah mengusir Jo dari apartemennya sendiri.
Dengan berbagai persoalan tempat pekerjaannya, ia dipertemukan dengan Bernard kembali saat keesokan harinya ia diminta untuk mengaudisi bintang film. Karena pada kesan pertama Jo telah mempunyai pandangan negatif terhadap Bernard maka ia mengacuhkan Bernard yang sangat berkeinginan kuat untuk lolos casting tersebut.
Singkat cerita, kisah digulirkan pada peristiwa-peristiwa dimana Bernard tetap saja menjadi "penguntit" Jo. Dan dengan pesona yang tidak dibayangkan sebelumnya oleh Jo, Jo jatuh cinta pada Bernard. Padahal, Bernard merupakan sosok lelaki yang jauh dari konsep ideal versi Jo. Namun gaya bernard yang spontan dan kocak dalam menyelesaikan permasalahan kerja dan pribadi Jo membuat Jo semakin tertarik pada Bernard.
Akankah Jo dan Bernard bersama? Bagaimana Bernard menyelesaikan masalah2 Jo?
Saya selalu ingat jodoh, nasib baik ataupun peristiwa-peristiwa dalam hidup kita datang-dan perginya memang sangat tidak terduga. Sama seperti Next ! rupanya konsep seperti itulah cerita ini digulirkan perlahan, kejadian-kejadian yang tak terduga, namun bukan sebuah kebetulan yang dipaksakan untuk terjadi. Komedinya pun alami. Dan entah mengapa, ada saat-saat saya juga haru biru saat menontonnya (:)) *terus terang hal ini sangatttt... jarang terjadi :D), dan juga ada saat-saat saya bisa tertawa begitu lepas menertawai adegan-adegan dalam film tersebut.
Siapkan kursi yang paling nyaman, tidak perlu sekotak tissue, cukup sehelai-helai saja, dan tontonlah bersama pasangan anda. Sungguh ini adalah film yang manis :)
Partition (2007) - Film
Category: | Movies |
Genre: | Romance |
- Para pemeran
* Jimi Mistry ... Gian Singh
* Kristin Kreuk ... Naseem Khan
* Neve Campbell ... Margaret Stilwell
* John Light ... Walter Hankins
* Irfan Khan ... Avtar
* Madhur Jaffrey ... Shanti Singh
* Arya Babbar ... Akbar Khan
* Lushin Dubey ... Mumtaz
* Chenier Hundal ... Zakir Khan
* Jesse Moss ... Andrew Stilwell
* Jaden Rain ... Vijay Singh
Cinta dan pemisahan. Cerita yang cukup banyak saya kenal.
Banyak pujangga klasik yang menceritakan cerita cinta yang berakhir tragis. Sebut saja satu contoh William Shakespeare dalam romance-tragedy nya yang termasyhur Romeo and Juliet.
Partition, adalah film produksi negara Kanada yang mengisahkan kisah percintaan dan kisah perjuangan penyatuan dari Naseem (Kristin Kreuk), seorang gadis keturunan Muslim, dengan Gian Singh ((Jimi Mistry), seorang pemuda bekas tentara India keturunan Sikh. Setting waktu film ditempatkan pada saat India, tengah hangat-hangatnya dalam proses pemisahan daerah teritorial akibat perbedaan kesukuan dan agama.
Cerita diawali dengan kepulangan Gian dari medan perang dan malah mendapati negaranya telah dalam suatu sengketa perpecahan. Suatu saat Gian bertemu dengan Naseem dalam situasi Naseem terjebak kerusuhan etnis dalam suatu wilayah. Ayahnya terbunuh dalam konflik tersebut akibat ia merupakan seseorang yang beragama Muslim. Gian mempertaruhkan nyawanya saat melindungi Naseem. Bahkan ia menampung Naseem dan memberikan tempat tinggal yang layak pada Naseem, namun ia merahasiakan identitas Naseem yang sebenarnya adalah seorang Muslim, pada orang terdekatnya.
Seiring berjalannya waktu, Naseem dan Gian saling jatuh cinta, dan menikah sesuai adat yang dianut oleh Gian. Beberapa tahun kemudian lahirlah putra mereka (Vijay).
Pada suatu hari tersiar kabar dari seorang koresponden Inggris, bahwa keluarga Naseem datang dan mencapai Pakistan. Mendengar kabar tersebut Naseem pergi ke Pakistan, sesampainya di sana dan bertemu dengan keluarga mereka, Naseem dilarang kembali ke India akibat ia menikahi seorang pemuda Sikh. sehingga ia dipaksa untuk tetap tinggal di Pakistan.
Gian yang menunggu kabar dari Naseem yang tak kunjung datang bersama Vijay yang semakin lama tumbuh besar, mendorong rasa rindunya pada Naseem. Liku-liku ia tempuh mulai dari berusaha merubah keyakinan menjadi Muslim, menempuh perjalanan yang penuh bahaya sampai pada pertentangan dengan keluarga dan birokrasi negara yang tengah dilanda pertikaian etnis yang memanas.
Berhasilkah Gian dan Vijay bertemu dengan Naseem. Berhasilkan usaha Gian dan Naseem dalam menyatukan cinta mereka, di tengah situasi sarat konflik tersebut?
Ini bukan kisah cinta yang menguras air mata, namun lebih dari itu, ini adalah sebuah kisah cinta, pengorbanan dan perjuangan yang mampu mengorek seluruh perasaan dan hati anda.
Anda tidak hanya mendapatkan sebuah kisah cinta tanpa muatan apa-apa, karena balutan konflik keluarga, historis (pemisahan Pakistan dan India) dan kultural (Muslim-Sikh) sangat kental di dalamnya, maka tak salah lagi Partition menjadi tontonan sinema yang berbobot.
Sepenggal Pengalaman Curut Betina dan Asu Jadi-Jadian yang Nonton si Mbek Lanangan
Category: | Movies |
Genre: | Romantic Comedy |
Melenceng dari tujuan semula yang pengen nonton si Mbek Lanangan di Royal, tapi akhirnya pergi ke Delta yang jaraknya dua kali jauhnya dari si Royal, karena efek psy war melihat antrean sepeda motor yang bujubuneng ngaudubilah puanjang... banget ampe harus mengalokasikan tiga lahan parkir, akibat hari itu hari libur alias hari Maulud'an.
Si Curut Betina dan Asu Jadi-Jadian pengen melewatkan malam berdua. Maklum udah lama gak keluar nonton bareng. Si Curut Betina harus merelakan sepeda motor tunggangannya kehilangan bensin hari itu (dan seperti itulah biasanya, kalau mereka pengen pacaran berdua. Untuk yang ini najiss... amit2 =)) )
Udah gitu si Curut Betina musti rela gayanya kebanting akibat penampilan rapi jali hem, selana jin dan sandal teplek femininnya musti dikontraindikasikan dengan dandanan super nggembel lengkap dengan celana selutut dan sandal jepit si Asu Jadi-Jadian. Ya... sudah lah... mungkin gara-gara itu mereka cocok.
Soal pelemnya sumpah.
Magak dan serba nanggung.
Hehhehehe!
Curut Betina sarankan buat para penonton adalah orang-orang yang lagi gak ada kerjaan kek mereka berdua, ato pengen nglakuin kerjaan laen dalam bioskop (*ups apaan tuh :p~)
Betewe, buat si Curut yang gak pernah baca bukunya si Mbek Lanangan, cukup tertarik juga buat mencari cinta-cintaannya yang segede Mbah Bronto gyahahahhahaha...
Dan malam itu ditutup dengan menu "Mie Remaja" sebagai berikut :
- Separo porsi Fuyung Hai Kepiting yang dikerikiti sama si Curut
- 3/4 porsi Kwetiauw Capcay dan Nasi Putih 1 porsi dilahap sama si Asu.
- 2 gelas teh hangat
dan semuanya dibayar di muka tanpa ngutang hehehhehehe...
sebenarnya mereka be-2 pengen beli si Roti Boy di Delta tapi berhubung udah jam 10 malam si toko udah bersiap2 badhe pulang.
*looo kok bahas makanannya thooo :))
ya wateper de nem mereka melewatkan malam berdua, menebus seharian kemaren tidak bersama ngejagain lapak buku Perpus nya ESOK.
Anti mah mereka dibilang pacaran najiss... amitt2
Sekian dan wassalam *halah2 =))
Copying Beethoven (2006)
Category: Movies
Cast :
* Diane Kruger – Anna Holtz
* Ed Harris – Ludwig van Beethoven
* Matthew Goode – Martin Bauer
* Phyllida Law – Mother Canisius
* Joe Anderson – Karl van Beethoven
* Ralph Riach – Wenzel Schlemmer
Credits:
Agnieszka Holland - Director,
Stephen J. Rivele - Scriptwriter,
Christopher Wilkinson - Scriptwriter [1]
=======================================================
Cerita ini mengambil sudut pandang pemeran utama penyalin skrip partitur maestro orkestra "Ludwig Van Beethoven" Anna Holtz, seorang perempuan lajang 23 tahun yang tinggal dalam asuhan gereja, dan mempunyai guru Wenzel Schlemmer seorang penulis partitur sang maestro sebelumnya.
Wenzel saat itu sudah tak mampu lagi melayani Beethoven, karena faktor usia dan keakuratan nya yang menurun. Anna Holtz menganggap pekerjaannya ini sebagai sebuah pengabdian. Dari awal hingga akhir runutan kisah ini mengedepankan faktor motivasi nya dalam bekerja adalah sebuah bentuk pelayanan terhadap Yesus dan Gereja, meski ia bukan seorang suster. Karena detail dan kecintaannya terhadap musik, disamping kepercayaan Wenzel yang begitu besar terhadap Anna, maka diutuslah Anna untuk menggantikan Wenzel.
Pada awalnya, Beethoven tidak percaya akan kemampuan asistennya karena ia perempuan yang masih muda (adanya prasangka gender, pada saat itu tentu ranah publik untuk perempuan tidak seperti sekarang yang sudah lumayan terbuka). Namun, karena Anna menunjukkan kualitas profesionalnya, maka lambat laun Beethoven mempercayai Anna.
Perasaan patah hati, kesepian, keterasingan dalam artian mental dan psikis Beethoven, pasca goncangan bertubi-tubi, diantaranya pembangkangan anak asuhnya Karl van Beethoven yang merupakan keponakannya akibat pemaksaan sang paman (L.van Beethoven) pada dirinya yang menyuruhnya menjadi pianis padahal cita-citanya ingin menjadi anggota AD. Kemudian disusul dengan telinganya yang tuli, mewarnai detail penceritaan. Itu pulalah yang menimbulkan suatu protes Beethoven terhadap Tuhan. Setelah Anna datang, ia kemudian menganggap Anna sebagai seorang penerjemah bahasa Tuhan yang dibisikkan Tuhan kepada Beethoven.
Sebuah kutipan Beethoven : Tuhan terlalu keras berbisik padaku, sehingga aku tuli.
menjadi sebuah kecintaannya pada Tuhan, disamping ia juga merasa kecewa dengan sebuah keputusan Tuhan. Dalam masa-masa sulit tersebut bagi Beethoven Anna Holtz, membangkitkan harapannya kembali. Seperti seorang pengganti Karl sang anak didiknya. Relasi kekaguman murid-guru, dan kasih guru-murid kemudian berubah implementasi menjadi sebuah jalinan cinta companionship, saling mendukung satu sama lain.
Namun akhirnya setelah 10 tahun "kering" karya, bersama Anna Holtz, ia mempersembahkan sebuah karya fenomenal Symphony No.9 in D Minor, karya itu menjadi fenomenal karena di tengah masa2 tulinya. Pada saat itu ia mempimpin sendiri simphoni nya, Anna Holtz ia minta sebagai pengukur tempo, karena ketulian Beethoven membuatnya tak mendengar nada/suara apapun. Dan...
inilah suatu keajaiban film ini yang lain, dari versi asli 75 menit komposisi yang asli, sang editor mampu memotong dan menghadirkan bagian heroik sekaligus dramatis dari Symphony no.9 menjadi 10 menit. And... it's not bad.
Hubungan guru-murid terus berlangsung hingga suatu saat Anna menunjukkan simphony miliknya, dan dipuji oleh Beethoven. Namun karena Beethoven bukan seorang apresiator yang ulung (gegegege...) maka apresiasi dirinya malah dianggap celaan bagi Anna. Ngambeklah si Anna.
Dan sang maestro yang terkenal arogan dan tidak kenal belas kasihan itu pun mengiba-ngiba mendatangi gereja tempat Anna tinggal untuk kembali bekerjasama dengan dirinya menyusun komposisi Anna yang diklaim sebagai komposisi yang sederhana namun fenomenal.
Anna menemani hari-hari akhir sang maestro hingga akhir hayatnya.
Beberapa catatan dibalik kesuksesan "Copying Beethoven"
>> berdasar catatan tersebut tampak jelas bahwa sepertinya Anna Holtz adalah merupakan tokoh real. Hohoho... padahal tidak. Sutradara dan penulis naskah film ini, telah berhasil memadukan fakta dan fiksi serta menjadikan batas di antara keduanya begitu tipis. Beethoven merupakan tokoh yang nyata, sementara Anna Holtz hanyalah tokoh fiktif. Faktanya, sejarah mencatat bahwa Beethoven memiliki beberapa orang penyalin yang semuanya adalah pria. Besar kemungkinan tokoh Anna diciptakan untuk menjadi penyelamat Beethoven dari keheningan dunianya sekaligus inspirator mahakaryanya serta menegaskan spekulasi mengenai wanita-wanita dalam hidup Beethoven di mana salah satu dari mereka merupakan apa yang dianggap oleh sang komposer sebagai Immortal Beloved, yang sesungguhnya masih menjadi misteri hingga saat ini. [2]
>> Keapikan "Copying Beethoven" disebut-sebut sebagai film yang dipengaruhi oleh kesuksesan film Amadeus (1984), dengan mengambil tema kisah yang serupa, yaitu kisah perjalanan hidup seorang komposer - Wolfgang Amadeus Mozart.[3] Amadeus memenangkan 8 kategori piala Oscar, 32 penghargaan lain dan juga 13 nominasi. [4]
=================================
But most of all, kalau kalian orang yang menganggap musik dan film adalah milik kalian, atau cinta adalah milik kalian, atau ambisi adalah milik kalian, atau... cita-cita, keterasingan, kesepian, kekecewaan, pengkhianatan, kepuasan hingga kemegahan...
Kalian tidak akan pernah salah memilih "Copying Beethoven" sebagai top list tontonan sepanjang masa.
taken from :
[1] http://www.locatetv.com/movie/copying-beethoven/992098
[2] http://gainaur.blog.friendster.com/2007/05/copying-beethoven-2006/
[3] http://clubtroppo.com.au/2007/04/24/copying-beethoven/
[4] http://www.imdb.com/title/tt0086879/
Tabula Rasa *1) : Pasivitas Manusia dalam Menerima Lingkungan
By statement: | Ratih Kumala. |
Language: | Indonesian |
Pagination: | vii, 185 p. ; |
ISBN 10: | 9797327140 |
LCCN: | 2004427677 |
LC: | MLCSE 2004/00936 (P) |
Saat saya membaca sebuah novel percintaan - seperti yang diungkapkan oleh salah satu endorsernya - biasanya menjadi suatu hal yang mengasyikkan, dan memang demikianlah adanya. Kemudian, ketika saya menggambarkan isi novel ini dengan menggabungkan efek label Pemenang Ketiga Sayembara Novel DKJ 2003 di sampul depan, tiga orang endorser kelas TOP – dalam artian top, tiga orang erdorser *2) tersebut adalah penulis dan pembangun menara sastra Indonesia, menurut saya tentunya- di bagian belakang, menjadi sebuah jaminan yang “mahal” bahwa ada sajian yang menarik dari novel ini.
Namun menjadi ironi ketika saya menemukan buku ini di tumpukan buku “sale” dengan harga bandrol sepuluh ribu rupiah, di sebuah pameran buku di wilayah Surabaya, saat Surabaya sedang merayakan bulan-bulan HUT eksistensinya sebagai Kota Niaga. Mengapa novel “bermutu” ini ada di keranjang sana, diantara deretan buku yang tidak “popular” dan tidak mempunyai “daya jual” di mata publik Surabaya? Padahal, menurut saya label-label tersebut adalah suatu jaminan. Ah… kemudian saya agak tersenyum kecut tapi lega, minat baca masyarakat Surabaya tidak se-memprihatinkan yang saya kira. Ketika saya cari-cari, buku ini tinggal satu di keranjang tersebut. Kecewa sebenarnya, karena biasanya saya akan membeli lebih untuk saya bingkiskan kepada orang lain.
Ya, kemudian pembicaraan saya berikutnya adalah, marilah mengesampingkan terlebih dahulu problematika market, idealisme dan momentum dalam sebuah penerbitan dan penjualan buku, dan saya malah lebih asyik membicarakan apa di dalam novel yang dibungkus cover putih dengan lukisan semi-absurd, tanpa judul dan tanpa tercantum siapa desainernya dan diberi tajuk “TABULA RASA” ini.
Saya ingat, saya mulai akrab dengan istilah Tabula Rasa ketika saya sedang menempuh pendidikan sarjana saya. Istilah ini seperti sebuah istilah ajaib semacam “Alohamora” dalam mantra “Harry Potter” sebagai pembuka kunci sebuah pintu. Dan saya tahu pintu itu adalah pintu dunia psikologis pembaca. Tabula Rasa adalah juga kata pertama yang didengung-dengungkan dalam diktat disiplin ilmu saya. Simak saja berikut :
Teori “tabula rasa” sebagai kelanjutan pendapat Aristoteles yang secara garis besar menganalogikan manusia ( bayi ) sebagai kertas putih dan menjadikan hitam atau menjadikan berwarna lain adalah pengalaman atau hasil interaksi dengan lingkungannya. Lingkungan dan treatmen dari orang-orang yang berpengaruhlah yang membentuknya melalui proses belajar dan pembiasaan-pembiasaan. Tak ada daya bagi manusia untuk menjadikan hidupnya. Satu-satunya yang menentukan adalah lingkungan. *3)
Apakah itu yang dimaksud oleh penulis? Maka ketika saya membaca, saya ketemukan apakah makna Tabula Rasa menurut penulis, lewat sebuah kutipan salah satu tokoh sentralnya – Raras - sebagai bentuk pasivitas manusia dalam lingkungannya, layaknya bayi, seperti penggalan berikut.
Vi, aku kini tahu siapa aku. Aku dilahirkan sebagai batu tulis kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris yang terbentuk dari jalannya hidup. Aku tak pernah menyesalinya. Aku tak menyesali jalanku. *4)
Raras, perempuan dengan naluri homoseksual perdominan, gamang dengan pilihan akhir hidupnya.
Kalau memang kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah kaum kami berdosa besar, lalu kenapa kaum kami harus diciptakan? Apakah dulu malaikat salah taruh jiwa laki-laki ke tubuh perempuan dan jiwa perempuan ke tubuh laki-laki? …. Aku tidak pernah minta dilahirkan untuk menjadi homoseksual, semua orang juga maunya lahir normal. Maka kuanggap biseksual adalah solusinya, tapi kemudian Argus menasehati agar aku memilih menjadi homoseksual atau heteroseks saja sebab ancaman bahaya untuk kesehatanku jadi lebih besar jika aku menjadi biseksual. *5)
Raras dihadapkan oleh penulis sebagai tokoh yang tidak bisa membuat pillihan hidup, ia seakan-akan telah diberi pilihan dan pilihan itulah yang harus dijalaninya.
Apakah seperti demikian maksud "Tabula Rasa" yang ingin dipresentasikan dalam novel tersebut? Yang saya ingat, ketika pembaca membuka dan mulai membaca, tak pernah ada tabula rasa dalam setiap individu.
Apabila demikian apakah manusia hanya boneka “suatu takdir”, “rencana hidup”, “Tuhan” atau lingkungan sebagai representasi dasar dari pemaknaan Tabula Rasa tersendiri?
Saya ingat, ketika saya mulai membaca, saya mempunyai berjuta-juta rasa tersendiri, patah hati, kecamuk menghidupi diri, masalah pribadi dan berjuta polemik dan permasalahan yang tentu saja BERBEDA dan UNIK dari orang lain. Apabila setiap orang – sebagai satuan unit lingkungan- seperti kertas kosong, tentu tidak ada yang UNIK dari kita bukan? Atau mungkin memang, Raras sebagai tokoh sentral Tabula Rasa merupakan sebuah tokoh sentral dinamika kepasifan manusia atas lingkungannya.
Saya pikir, Tabula Rasa lebih dari sekadar sebuah jalinan cerita reka ulang adegan yang serampangan, karena didalamnya banyak kandungan dinamika psikologis manusia yang dieksplorasi dengan cerdas dan perenungan.
Pencatat :
Nisa Ayu. mahasiswa jebolan S1 Fakultas Psikologi UBAYA
Daftar Rujukan :
*1) Judul novel yang ditulis oleh Ratih Kumala, terbitan PT. Grasindo, tahun 2004.
*2) Tiga endorser tersebut adalah Budi Darma beliau adalah cerpenis, novelis dan pengamat sastra, Maman S. Mahayana, pengamat dan kritikus sastra dan Puthut EA, penulis.
*3) Diambil dari http://74.125.153.132/sear
*4) Tabula Rasa. hal. 183
*5) Ibid. hal. 158-159