Rabu, 01 Desember 2010

Little Black Book : Rahasia yang Menunggu Terungkap


CAST: STACY - Brittany Murphy DEREK - Ron Livingston KIPPIE KANN - Kathy Bates BARB - Holly Hunter JOYCE - Julianne Nicholson MOM - Sharon Lawrence CARL - Stephen Tobolowsky IRA - Kevin Sussman DR. RACHEL KEYES - Rashida Jones LULU FRITZ - Josie Maran LARRY - Jason Antoon RANDOM - Gavin Rossdale PHIL - Cress Williams BEAN - Dave Annable



CREW: Director: Nick Hurran Written By: Elisa Bell and Melissa Carter Story By: Melissa Carter Producers: Elaine Goldsmith-Thomas, Deborah Schindler, William Sherak and Jason Shuman





Buku harian memang menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri menjadi sesuatu benda yang menggambarkan pribadi seseorang secara utuh. Di dalamnya berisi tak hanya cerita atau pengalaman pribadi namun juga rahasia-rahasia paling tersembunyi dari kisah hidup seseorang. Kalau dulu buku harian berbentuk cetak dan kertas, kini revolusi baru diciptakan dalam bentuk tekhnologi. Memuat jutaan rahasia mulai cerita, foto-foto pribadi, hingga nomor kontak mantan pacar



Mungkin rahasia seharusnya tetap menjadi rahasia saja, dan tak usah dibuka.



Kurang lebih seperti itu, kutipan dialog internal dari salah satu tokohnya, yang menjadi titik balik dari film ini.



Sinopsis



Cerita berawal dari kecemburuan Stacy Holt (Brittany Murphy) seorang kru dari sebuah reality-show TV yang ingin menguji kekasihnya Derek (Ron Livingston) atas kesetiaan dan ingin tahu bagaimana masa silam kekasihnya itu. Ia mencari tahu lewat Palm Tungsten C (semacam tekhnologi mirip i-Phone) milik Derek. Dari penelusurannya, ia jadi tahu bahwa Derek pernah mempunyai hubungan dengan tiga perempuan; Lulu Firzt seorang model perempuan terkenal, Joyce seorang koki restoran, dan seorang dokter ginekologi Rachel Keyes



Untuk mengorek-ngorek masa lalu, Derek, Stacy melakukan serangkaian rencana penjebakan. Ia menginterview mantan-mantan Derek dengan mengaku bahwa mereka akan dijadikan subyek utama dalam rangka acara televisi. Lulu yang dijanjikan akan mengisi segmen pembicara “Kegagalan sebuah operasi plastic”, Joyce yang dijanjikan mengisi segmen koki hotel berbakat, dan Rachel Keyes yang dijanjikan mengisi segmen penyuluhan penyakit seks menular.



Stacy selalu bercerita soal segala sesuatunya pada sahabatnya Barb yang juga seorang kru reality show tersebut. Dalam suatu hari Barb memenangkan persaingan sehat atas Stacy dan boss mereka menyetujui Barb memproduseri satu episode siaran langsung reality show tersebut. Dan apa yang terjadi bila cerita tersebut ternyata sebuah cerita milik sahabatnya, Stacy? Maka seperti demikianlah sebuah cerita kehidupan dipaparkan saat segala lekuk perselingkuhan, mata-mematai dan pengkhianatan terjalin dalam rangkaian yang utuh. Tak usah khawatir pada akhir cerita, saya pribadi masih lebih suka cerita film yang berakhir bahagia, dan film ini saya jamin mempunyai kejutan pula di akhir, sama layaknya dengan cerita kehidupan nyata yang selalu penuh kejutan.



Alur



Little Black Book (LBB) sangat cerdas mempermainkan karakter pemainnya. Penonton tentu menyadari bahwa tokoh utama di sebagian besar film adalah “orang baik-baik” namun apa yang disajikan oleh film ini berbeda, bahwa “hero” tak selalu “orang baik-baik”, bahwa manusia adalah manusia.



LBB mampu memutar persepsi tersebut sangat halus dan natural dengan menyajikan konflik batin internal para pelakonnya. Penyajian sudut pandang pertama –aku- versi Stacy mampu menggambarkan konflik batin perempuan (setidaknya saya) bahwa seperti demikianlah perasaan dan mungkin dialog-dialog yang dialami oleh perempuan yang tidak mempercayai pasangannya.



Kejujuran versus kebohongan menjadi latar utama dari cerita ini, disamping juga menggambarkan sebuah dilema ketika kita ingin tahu lebih banyak tentang rahasia hidup pasangan kita, dan mungkin rahasia hidup kita sendiri. Bahwa kadang kala sebuah rahasia ada saatnya tak perlu kita ketahui, tak perlu kita buka dan tak perlu kita korek-korek.


Seperti juga kutipan yang saya rasa bisa menjadi tema utama dari film ini,

Hell is empty. All the devils are here... (William Shakespeare, The Tempest)

Jumat, 17 September 2010

Sekelumit Ingatan : Muhammadiyah, "Sang Pencerah", Keluarga Saya dan Lingkungan Saya




Sewaktu "Sang Pencerah" tayang di layar lebar yang pertama terbersit adalah sang sutradara Hanung Bramantyo, yah… sesungguhnya pertama saya terpikat adalah ketika ia menggarap film sebelumnya Perempuan Berkalung Sorban.

Begitulah konsep hidup keluarga Muhammadiyah, ketika saya mulai tertarik pada diskusi film di beberapa stasiun tivi yang ada. Saya tak akan menjelaskan terlalu banyak tentang film tersebut, justru saya akan bercerita tentang hal-hal yang ada di kepala sehabis kami sekeluarga; saya, adik saya dan Ibu saya, menyaksikan film tersebut.

Dibesarkan dalam lingkungan keluarga bernafas ke-Muhammadiyah-an memang tidak asing di telinga saya. Kakek saya dari pihak ayah adalah penggagas Muhammadiyah Blitar, Nenek saya adalah pembina Aisyiyah dan sebuah panti asuhan, sekolah dan Rumah Sakit Aisyiyah Muhammadiyah pertama di kota itu. Sementara nenek saya dari pihak Ibu adalah simpatisan Muhammadiyah Blitar. Ayah saya pernah bercerita, bahwa dalam menghidupi keberlangsungan panti dan organisasi selain mengandalkan donasi, Muhammadiyah tak pernah sekalipun memungut uang apapun dari anggotanya. Nenek saya lebih banyak memutar otak mengajarkan anak-anak asuhnya untuk “berkarya sendiri” menghidupi kebutuhan panti sendiri. Tak jarang nenek dan kakek menyisihkan uang dari kocek pribadi mereka, gaji pegawai PJKA pada masa itu sepertinya sudah tergolong mapan meski untuk menghidupi ke 10 anak (hahahaha.. keluarga yang sangat besar), dibanding keluarga yang lain di era masa penjajahan. Nenek membantu dengan berjualan kue. Kakek saya juga lumayan mahir bermain biola, dan salah satu putranya juga ada yang mewarisi kebisaannya tersebut. Musik merupakan suatu budaya keluarga yang tak pernah lepas dari keluarga ayah saya saat itu. Selain itu Muhammadiyah Blitar juga memiliki akses olahraga rintisan, sebuah lapangan tennis, kakek saya yang juga katanya ada darah ke-Belanda-belandaan, juga mampu bermain tennis, kebisaannya itupun diwariskan ke anaknya.

Sayangnya, ketika masa penjajahan Jepang, semua itu harus lambat laun direlakan keberadaannya. Muhammadiyah Blitar sempat mengalami masa-masa kebangkrutan, anak-anak panti akhirnya diadopsi oleh sesama pengurus, dan keberadaan Rumah Sakit dan Sekolah untuk sementara dikontrol oleh pengurus yang mampu. Masing-masing mengambil tanggungjawab sesuai kemampuan. Di masa itu, nenek dan kakek saya masih mampu menyantuni dan mengadopsi beberapa anak asuh salah satunya malah tinggal bersama keluarga ayah saya, almarhum pakdhe angkat saya. Beliau adalah seorang anak yatim, martir perang mempertahankan kemerdekaan yang terkena cipratan amunisi sehingga matanya mengalami kebutaan temporer.

Dengan latar belakang Muhammadiyah kami mengalami masa-masa kegamangan ketika berada di lingkungan yang berbeda keyakinan dengan kami. Contoh yang sederhana seperti demikian, saya suka bingung ketika keluarga saya suka ditanya oleh orang-orang ketika Ramadhan tiba, sementara kami sendiri tidak pernah menerapkan tradisi itu.

“Kok, nggak pulang buat nyekar?”

Nyekar dalam budaya Islam – Kejawen adalah budaya berziarah ke makam mendoakan di makam itu juga dan mengirim do’a. Kemudian kata nyekar sendiri berasal dari kata sekar dalam bahasa Jawa yang berarti, bunga. Nyekar artinya upacara tabur bunga di makam, bunga yang ditabur juga harus memenuhi syarat tertentu, kembang boreh kalau diistilahkan terdiri dari bunga tujuh rupa, saya lupa pastinya bunga apa saja itu. Kemudian di makam membaca bacaan Tahlil dan surat Yasin.

Keluarga kami juga sering dicap tidak solider dengan lingkungan sekitar kalau misalnya di lingkungan rumah kami ada yang mengadakan tour ziarah ke makam Wali, kemudian memohonkan hajat yang diingini di depan makam Wali. Keluarga kami memilih tidak ikut acara tersebut dan lebih baik tinggal di rumah, paling ibu hanya bisik-bisik menasehati saya. Jasad orang mati yang jadi tanah, mana bisa mengabulkan permintaan, begitu katanya berulang-ulang. Padahal kalau boleh merunut, ada garis keturunan Sunan Ampel di tubuh kakek saya.

“Lha wong, trah’e wae dungone nang omah kok, gek kesrantan-srantan men, wong-wong kae ziarah sing dudu trah’e nang makam wali, trah’e wae dudu. Kuburan keluargane mbuh diurus po ora. Nggur nggo opo?” (red.Yang punya garis keturunan langsung saja berdoanya di rumah, kok ya menyengsengsarakan sendiri orang-orang itu ziarah ke makam wali, padahal bukan garis keturunannya. Kuburan keluarganya entah diurus atau tidak. Lalu untuk apa?)

“Teko lemah, yo baline ndhuk lemah. Ziarah iku mek digawe ngeling-ngeling trah. Soko endi muasal’e. Dudu digawe klenik opomaneh nyuwun-nyuwun nang ngarep sak liyane Allah” (red. “Dari tanah, akan kembali ke tanah. Ziarah itu diperlukan untuk mengingat-ngingat garis keturunan. Bukan dipakai untuk hal-hal yang berbau klenik apalagi dipakai untuk meminta selain kepada Allah")

Satu hal yang membuat saya jadi mikir adalah ketika ibu saya juga tak pernah datang ke acara pengajian Yasinan ibu-ibu. Ibu memilih mengaji sendiri di rumah atau pengajian-pengajan tadarusan yang umum. Kata-kata ibu juga kemudian saya temukan mirip dengan salah satu kutipan di film “Sang Pencerah”

“Gek ngaji kok mbrebeni tonggone, njur Allah iku ngerti suara ati kok arep dibengoki. Lek arep syiar yo ngajine ditepakke, harakat’e, makhraj’e, tajwid’e. Lek nggak nggenah malah nggowo syiar ala nang Islam.” (red. Mengaji kok mengganggu tetangganya. Allah mengerti suara hati kok pake diteriaki. Kalau mau syiar –red.berdakwah- ya ngajinya diperbaiki, harakatnya, makhrajnya, tajwidnya. Kalau ngajinya tidak benar nantinya malah membawa syiar yang jelek pada Islam)

Dan mungkin itu hanya sebagian kecil cerita-cerita mengenai Muhammadiyah, keluarga saya, saya dan lingkungan sekitar saya. Yang jelas keluarga saya tak pernah menolak hantaran berkat tetangga yang kebetulan mampir ke rumah dan meniatkan bahwa tetangga saya sedang berbagi-bagi rejeki, meski kemudian biasanya akan ada secarik tulisan yang tak pernah kami gubris, yang berbunyi :

“Alhamdulillah, usia anak kami telah genap 40 hari” atau “Telah genap 100 hari meninggalnya Ibunda kami”

Yang jelas ibu kemudian berkata,

“Tidak boleh menolak rezeki. Mubadzir itu temannya syaitan”

Kemudian kalau misalnya ketika sisa makanan kami masih ada di piring makan, nenek pernah mengajarkan saya,

“Diniatkan ngasih makan buat hewan-hewan kecil. Jangan diniatkan membuang-buang makanan, sesungguhnya mubadzir itu temannya syaitan”

Begitulah keluarga saya, yang setelah pulang menonton “Sang Pencerah” saya jadi teringat Almarhum Kakek-Nenek saya, dan ajaran-ajaran beliau. Meski kemudian ketika sampai di rumah, saya harus menerima omelan ibu saya ketika saya menyetel tivi dan menonton acara misteri “Dunia Lain”. Jiakakakakakakakakak…. :)

Kamis, 02 September 2010

Sebuah Surat Kepada Sobat

duduklah sebentar sobat, akan kuceritakan padamu sebuah cerita negeri yang bersahabat. tak punya prasangka pada tetangga yang tengah malam mengendap-endap. diintipnya kami bersarungkan batik meliukkan tubuh di kamarnya menari pendet sembunyi-sembunyi. kami ini negeri pemalu, sobat. meski di dada kami suka dijejali tisu-tisu sumpal kebohongan kami adalah orang kaya, meski badan-badan kami sebenarnya langsing kurus kering.



ibunda kami adalah perempuan-perempuan pemberani, sobat. bekal kami gincu dan bedak diblawurkan muka-muka polos kami. keumalhayati menghimpun bala tentara melarungkan berani semerbak ganda mewangi lantak musuh seketika, takhluk. dan jangan sampai kau salah hang tuah adalah leluhur kami. dan kemudian apa yang kau harapkan atas perlakuan kami selain menggeretakkan gigi, mengepalkan tangan menahan getar di dada. setelah kau perkosa anak-anak perempuan kami yang kau panggil membantumu mengepulkan dapur masakmu, kau gebuki anak-anak lelaki kami dengan pentung dan moncong pistol mengarah ke badan, kepala, kaki, tangan semuanya. borgol-borgol menyerimpung dan tali-tali membelit ujung kaki hingga rambut. merobohkan pagar patok melanggar hak, pertunjukan dan lagu ninabobo yang kau alihnamakan.



cukup sobat, kami bukan anjing-anjing penjilatmu, kugigit tubuhmu kami mampu.

Rabu, 18 Agustus 2010

Catatan : Kau dan Aku

Sangat rumit menghadapi hidup, dan akan menjadi naif sekali bila saya bilang bahwa hidup adalah titian yang sederhana untuk dijalani. Saya masih berdiri, masih menulis, masih membaca, masih mencintai buku-buku saya, masih berkelebat di seputaran itu. Apa yang terjadi kemudian bila seseorang yang seharusnya paham akan kecintaan saya sejak kecil, menerali saya dengan keinginannya. Saya mungkin tak akan pernah menjadi dewasa di matanya. Tak akan, dan saya paham. Tapi apakah terus begitu?

Bukankah buah yang terlanjur masak ranum tak bisa lagi dikembalikan menjadi embrio terus menerus.



Saya paham saya bukan anak panah, dan kau juga bukan tali busur seperti kahlil gibran bilang. Tapi apakah harus aku selalu bersisian denganmu seperti anak panah dan busur?



Aku bukan kau, dan tak pernah menjadi kau. Dan aku tak pernah menafikkan kau yang menjadikan aku menjadi "aku".

Jadi hentikan segala usahamu untuk menjadikan aku menjadi kau.



Saya lelah.
----------------
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut
semua suara janganlah takut kepadanya


Kemerdekaan ialah tanah air
penyair dan pengembara jangan takut padanya.

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra.
Bawalah daku kepadanya

(Tentang Kemerdekaan - Toto Sudarto Bachtiar - alm.)

Catatan : Kerajaan Topi Panci Hijau

militer sekarang sudah merupa menjadi kerajaan-kerajaan kecil, dengan permaisuri yang dilembagakan, dilengkapi dengan prajurit dan ajudan-ajudannya. prajurit dan ajudan itu tidak hanya melayani kebutuhan para raja-raja itu, namun juga para permaisuri, selir bahkan anak-cucu sang raja. fasilitas negara tak hanya dipakai oleh para raja-raja 'pengangguran' itu namun juga oleh anak-cucu sang raja.

kemudian apa yang terjadi ketika mereka ditempatkan pada pertempuran yang sesungguhnya?? mereka lebih memilih lari terbirit-brit atau menggunakan pelor dan amunisi nya kepada warga yang membiayai amunisi itu. atau menabrakkan bemper depan kendaraannya kepada sepeda-sepeda tua milik rakyat yang kebetulan melintas lebh dahulu.

tahukah mereka akan arti "mengantri"? saya rasa tidak tahu, mereka hanya mengerti bahwa mengantri adalah mereka menunggu giliran menyalakkan bedil dan senjatanya kepada garda depan tanpa tameng selain kulit dan tulang yang membungkus mereka.

merekalah yang kuberi nama pejuang, berjuang atas nama kebebasan dan hak-hak yang dicerabut oleh pekik lantang yang seharusnya melembut ketika mereka berbicara dengan sekelompok orang yang bernama

: rakyat

Rabu, 04 Agustus 2010

Sang Penanda Catatan Tanah Merah



Gb : saat membacakan puisi "Bara yang Tak Pernah Padam" karya Mawie Ananta Jonie, pada acara Geladak Sastra 6 : Diskusi 3 Buku LEKRA

kalau kau ajariku angkat senjata, aku hanya bisa ambil pena dari kotak kaleng bundar di sudut mejaku. bahkan untuk membelikannya tinta aku harus memasung lidahku pada tiang pancang gantungan. lidahku membiru, bahkan kalau kau mau, berangsur-angsur cairan otakku pun terhisap keluar, membusuk di tanganmu.

tak ada yang tersisa, bahkan hanya sekedar secarik kertas untuk mengganjal salah satu sisi yang timpang di mejaku, jangankan buku, jangankan catatan baru, jangankan penanda peristiwa dulu, jangankan pidato kemenanganku, sungguh benar-benar tak ada yang tersisa

selain topi baret dan lars berbau tiran menginjak pita mesin tik tua ku dan jari tinggal satu mengeja huruf demi huruf nafasku

aku berdiri karena masa lalu yang membentukku, namun aku merdeka untuk menjadi apa saja, pun bukan menjadi ketakutan masa lalu mu...

04082010

Senin, 05 Juli 2010

Rahasia Selma : Jendela cerita dan fenomena kemanusiaan sehari-hari


Judul : Rahasia Selma
No. ISBN : 9789792256567
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal terbit : Mei - 2010
Jumlah Halaman : 130
Berat Buku -
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi(L x P) : 135x200mm
Kategori : Cerpen
Bonus -
Text Bahasa : Indonesia



  1. Kemasan


Membaca kumpulan cerita “Rahasia Selma” adalah seperti membaca sebuah cerita tuturan. Saya cukup tergelitik dengan judul buku “Rahasia Selma”. Rahasia Selma sendiri adalah merupakan salah satu judul cerita dalam kumpulan cerita. Entah apa yang mendasari penulis memilih judul Rahasia Selma? Saya sendiri kurang paham. Nyata-nyatanya saya tidak menemukan benang merah antara satu cerita dengan cerita yang lain yang mengaitkan dengan judul buku ini. Ya, Rahasia Selma.


Sama seperti ketika saya mencoba mencari tahu sepasang gambar kaki anak-anak, berkaus kaki hijau bergambar bunga-bunga namun bersandal. Berdasar atas sebuah penelusuran, saya menemukan bahwa ada kemiripan konsep dengan cover sebuah buku berjudul Lolita karangan Vladimir Nabokov. Konsep memajang kaki bersepatu memang tidak asing lagi, bedanya Lolita berkesan lebih menyedihkan dengan tampilan hitam-putih daripada Rahasia Selma yang berwarna lebih ‘ngejreng’ dalam kacamata saya. Cover ini saya katakan sesuai dengan kisah Rahasia Selma, yang menggambarkan rasa keingintahuan seorang gadis bernama Selma akan dunia luar, kemudian ia melakukan perjalanan sembunyi-sembunyi, hal ini dikarenakan rasa kesepian yang tengah dialami. Tapi apakah cover ini merepresentasi isi cerita-cerita lain di dalamnya? Saya rasa tidak.


Berikutnya yang ingin saya kemukakan adalah, adakah sebuah alasan khusus dengan memajang endorser dari buku sebelumnya pada buku ini? Kesemua yang diajukan adalah penyair dan lebih dikenal dalam tulisan puisi-puisinya. Saya jadi mengaitkan apakah ada alasan khusus yang dipakai penerbit atau pun penulis dalam menarik para pembacanya untuk lebih menggiring pembaca puisi menikmati karya ini? Berkaitan hal tersebut saya akan ajukan beberapa paparan di bagian berikutnya mengenai isi.


  1. Isi


Penulis memakai bahasa penuturan penggambaran yang kuat dalam tulisannya. Setidaknya setiap memulai cerita baru atau sub bab baru penulis selalu menuliskan deskipsi gambaran detail suasana, tempat secara detail, namun saya juga menjadi memahami, tak demikian dengan deskripsi waktu.


Ceritanya menggambarkan kisah sederhana, sehari-hari dengan cara yang unik. Pemilihan kata-kata dalam kalimat-kalimatnya pun kaya. Namun entah bagaimana, saya kurang “akrab” dengan cerita-cerita itu. Layaknya cerita harian, cerita-cerita di sana menjadi milik “sendiri”. Sangat aneh rasanya ketika membaca “Pohon Kersen” misalnya saya harus menemukan “kopi robusta” dan “Ham Lam” di tengah jajaran karakter “Mak Sol” atau “Yu Ani”. Atau seperti membaca Rahasia Selma, ketika menemukan karakter Pak Suhana yang muncul dan kemudian muncul lagi nama Wilhelmus. Saya jadi kebingungan menentukan cerita ini mengambil setting di mana?


Nah, kegalauan saya adalah, meski cara penulisannya yang liris, kaya tema dan memiliki jalinan cerita yang kuat, saya selalu tidak paham dengan ending-ending dari tiap ceritanya. Apakah ini berkaitan dengan cerita catatan hati, saya tidak bisa menangkap maksudnya. Butuh pikiran yang tenang untuk paham satu persatu ceritanya, dan pembaca bukan seseorang yang selalu dalam keadaan serius dan penuh fokus saat membaca. Rahasia Selma tampaknya tidak cocok untuk pembaca cepat. Kehilangan satu paragraph saja maka hilanglah jalinan cerita. Berkaitan dengan endorser seperti yang saya kemukakan sebelumnya, hal ini lah yang saya rasa menjadi penyebab mengapa penulis berusaha menarik perhatian pembaca puisi. Cerita yang disuguhkan sarat dengan bahasa symbol yang lekat dengan tema kemanusiaan yang berat, penyajian bahasanya ini lah yang memungkinkan bahwa penikmat puisi atau bahasa syair diharapkan menikmati karya ini.





dimuat di yanahaudy.net

Selasa, 22 Juni 2010

The Outsider (Sang Pemberontak) : Kepatutan Moral


Penulis : Albert Camus
Penerjemah : Ermelinda
Penerbit : Liris
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 978-602-95978-8-2
Tebal : 164 halaman

Pertama menemukan buku ini sewaktu jalan-jalan di sebuah rak toko buku besar. Jadi tertarik, itu benar. Saya pernah mendengar nama Camus waktu nonton film malahan. Saya lupa judulnya, yang jelas tokoh pria di film tersebut sangat memuja tokoh Camus sampai-sampai ia memakai nama Camus untuk menyewa sebuah kamar hotel yang dipakai si tokoh pria untuk menginap bersama kekasihnya. Padahal sepasang kekasih itu masih di bawah umur dan belum menikah. Intinya pada saat itu mereka sedang dalam keadaan kabur dan aku pikir ini ada kaitannya dengan bacaan si tokoh pria. Dari segi judul, menarik Sang Pemberontak hehehehe... tak ada yang tahu bahwa dalam diri saya sebenarnya tokoh polos yang ingin keluar sangkar.

Bagian pertama saya diajak mengenal karakter tokoh Mersault yang "nrimo", datar dalam menunjukkan ekspresi, boleh dikatakan ia adalah orang yang kalau orang jawa bilang "opo onone" alias apa adanya. Maka ketika dihadapkan pada situasi bahwa ia lebih memilih panti wreda sebagai tempat masa tua ibunya. Penulis juga memaparkan apa adanya bahwa kondisi keuanganya tidak mencukupi, bahwa ia lebih sering tidak enak membiarkan ibunya kesepian. Kemudian ketika Mersault harus menghadapi kenyataan bahwa ia harus kehilangan ibunya, ia pun dengan sangat jelas menyatakan bahwa sama sekali tidak merasa bersedih. Saya cukup memahami kehilangan bagi setiap orang sangat berbeda-beda takarannya, mungkin dalam contoh kasus Mersault ia lebih merasa kehilangan Marrie, kekasihnya, dibanding saat kehilangan ibunya. Betapa norma dan ketetapan moral etika sering kali membentur-benturkan kepantasan bahwa kehilangan seorang ibu seharusnya lebih menyakitkan dan mampu menimbulkan kesedihan yang sangat dibanding kehilangan seorang kekasih.

"... Bagaimanapun kenangan tentang Marie memiliki arti sesuatu bagiku. Aku tak tertarik lagi padanya jika ia sudah meninggal."

Intinya adalah penulis mencoba menghadirkan bahwa Mersault adalah orang yang sangat apa adanya, ia tidak perlu berakting seolah-olah ia merasa kehilangan dengan sosok ibu, disebutkan bahwa ia sama sekali tidak menangis pada saat upacara kematian ibunya.

Namun, apa yang terjadi ketika faktor kepatutan moral dan etika itu dibenturkan dengan sikap apa adanya individu? Dan bukan tindakan pembunuhan dan efek pembunuhan itu yang membuat Mersault harus menyerahkan dirinya dihadapan hunusan guillotine. Bukan, bukan karena itu. Ia harus menghadapi masa penghabisannya karena dakwaan kepatutan moral dan etika dalam merespon kehilangan.

Paradoks yang sama adalah ketika penulis menghadirkan sebuah situasi dimana arti anjing kudisan dan penuh borok Salamano sama berartinya dengan kehadiran istrinya, atau ketika Mersault mempunyai hubungan pertemanan dengan Raymond (seorang mucikari) dan ia ditempatkan dalam situasi ia membela Raymond saat Mersault harus membunuh orang Arab yang menguntit keberadaan Raymond. Dalam tataran pranata sosial, masyarakat meyakini bahwa manusia dalam hal ini istri Salamano, lebih berharga daripada anjing Salamano. Dan bahwa sebuah kepatutan yang lain, bahwa seseorang dari kalangan baik-baik tentu tidak akan menjalin hubungan pertemanan dengan seorang mucikari. Anggapan bahwa mucikari adalah penyakit masyarakat.

Lepas dari itu saya jadi mengingat pengalaman saya beberapa waktu dulu, suatu saat saya sedang janjian dengan seorang kawan di sebuah toko. Entah sengaja atau tidak pada saat itu kawan saya melakukan tindakan yang dianggap menyalahi aturan. Karena saat itu saya bersama dengan dia, maka saya pun dianggap komplotan. Cukup sangat membuat malu sebenarnya karena sampai melibatkan kepolisian. Saya terbukti tidak bersalah, tapi sebuah tindakan kepatutan masyarakat ketika saya membela teman saya yang dicap "bersalah" membuat saya juga dicap "bersalah". Sebegitukah nilai yang dijunjung manusia itu? Sehingga membuat orang yang "didakwa" itu memang dihadapkan pada situasi dia tidak bisa membela diri, dipersalahkan, dan dilabel, kadang analogi dakwaan pun dipaksakan dikait-kaitkan?

Saya sempat memikirkan menjadi orang "putih" itu memang susah...

Minggu, 20 Juni 2010

Srawung Art III (Juni) "Sebuah Permulaan"

Srawung Art III (17/06/2010) memasuki moment Sebuah Permulaan karena bersamaan dengan ULTAH ESOK yang ke-2 kembali digelar di ART CAFE, hari Kamis kemarin. Acara dibuka oleh performance art dari Slamet Gaprak yang dimulai pukul 20.00 WIB.

Suasana nampak riuh ramai karena pengunjung tidak sedikit yang datang meski tidak juga banyak. Para penikmat seni ternyata menikmati penampilan dari Slamet Gaprak dengan tajuk "Man Growth" yang melakukan eksperimen di dalam kamar mandi. Aksi ini mengundang perhatian yang tinggi karena dilakukan sendiri dan memanfaatkan media ruang serta gulungan plastik dalam penampilannya.

Dilanjutkan oleh Tina Rch dari Unitomo dengan sebuah karyanya dalam pembacaan puisi di depan podium. Acara pun terus berlalu silih berganti hingga musik Accoustic oleh Sugeng Galih yang merupakan sumbangsih seniman-seniman Surabaya telah mengiringi acara Srawung Art III dengan alunan merdunya.

Seorang teman lama dari Teater Kusuma UNTAG Lian telah menyediakan waktunya untuk membacakan sebuah cerpen karangan Puthut EA pada sela-sela acara yang telah disediakan untuknya dengan apiknya.

Refleksi untuk komunitas ESOK di Tahun ke-2 di hari kelahirannya telah memberikan ruang dan waktu untuk Diskusi dan Bedah Buku Valharald oleh Adi Toha dan Membongkar Misteri Tanda (MMB) oleh Heru Susanto. Pembedah diisi oleh Akhudiat, budayawan yang juga dikenal dalam kiprahnya di dunia teater dan seni lakon dan Umar Fauzi Ballah, eseis dan penyair asal Madura.

Berawal dari mimpi yang menginspirasi, Valharald ditulis oleh Adi Toha. Penulis juga mengakui bahwa ia juga membaca sebuah buku asing, dan terinspirasi dari sebuah karya terkenal J.R. Tolkien, Lord of The Ring dalam proses penggarapan novel fiksi-fantasinya tersebut. Dari pengalaman mimpinya tersebut, ia mengembangkan cerita Valharald.

Sedikit berbeda dengan Adi Toha, penulis Valharald, Heru Susanto, penulis MMB, mengakui bahwa pengalaman pertama menulis adalah ketika ia menulis puisi, kemudan dilanjutkan dengan menulis esei pemula tahun 2006 saat mendengar fenomena lagu Lelaki Buaya Darat (Ratu) yang meledak di pasaran. Esei itu kemudian terbit di Jurnal kampus. Sejak itu rasa percaya dirinya muncul dan meneruskan untuk menelurkan esei-esei berikutnya. Esei-esei itu kemudian dikumpulkan dalam buku Membongkar Misteri Tanda(MMB).

Dalam diskusi tersebut, Akhudiat sebagai pembahas novel Valharald, menyatakan bahwa seharusnya diberikan data referensi. Valharald juga disebut bercerita dengan sebuah tema klasik yaitu kebaikan melawan kejahatan. Ia memaknai bahwa Valharald merupakan novel yang berpihak pada kehidupan. Ia juga mengatakan novel ini adalah novel yang tidak tuntas dan akan ada sambungannya. Bahkan ia juga menambahkan satu kutipan, apakah ini berkaitan dengan kata2 seorang filsuf yang menyatakan bahwa penulis yang baik tidak pernah menyatakan tulisan yang dibuatnya merupakan tulisan yang terbaik, namun tulisan yang akan datanglah yang kemungkinan menjadi seperti itu. Pengunjung juga dibuat terpesona dengan beberapa penguraian istilah-istilah dalam Valharald versinya menurut perbendaharaan kata budaya Jawa. Akhudiat membaca dengan menggunakan sistem anagram yaitu mengartikan filosofi-filosofi dari kata-kata asing dalam Valharald dari huruf-huruf nya secara acak. Contohnya Valharald yang bila diambil unsur hurufnya bisa berarti lahar, atau lava, atau Fionn yang disebutnya mirip dengan sebuah suku kata “pion”, dan masih abnyak lagi contoh-contoh yang ditambahkan.

Tibalah giliran Umar Fauzi Ballah dalam membahas MMB dari kacamata pengamatannya. Ia membaca MMB hampir sama dengan pembacaan Akhudiat dengan mencoba menguraikan kegelisahan-kegelisaan dari Heru Susanto. Ia juga menjelaskan bahwa pemilihan dirinya sebagai pembahas disebabkan Heru Susanto dekat dengan dirinya dan dianggap paham atas pola kegelisahan yang ada di benak Heru Susanto. Ia juga tidak memungkiri sanggahan dari moderator Diana AV Sasa bahwa buku MMB seperti membaca sebuah literatur kuliah yang kurang menarik. Oleh sebab itu, ia membenarkan bahwa MMB terasa berat dan tidak bisa dibaca dengan santai.

Dua pertanyaan dari penonton menambah seru perbincangan tersebut, pertanyaan pertama dilontarkan oleh Neni (UNESA) yang memandang ada perbedaan background pendidikan penulis antara Valhard dengan MMB yg lebih akademis. Pertanyaan tersebut dibenarkan oleh Adi Toha bahwa ia menyadari bahwa latar belakangnya yang bukan berasal dari sastra menjadi salah satu penyebab bahwa ia menulis secara otodidak dan tidak mengandung keakademisan sastra. Ia juga mengakui bahwa hal itu sama sekali berbeda dengan latar belakang pendidikannya yang selama ini berhubungan dengan ilmu pasti dan menghadapi rumus-rumus, namun hal itu bukan menjadi masalah bagi dirinya.

Alex dari UNESA juga menanyakan pada Heru Susanto apakah kegelisahan itu berhenti cukup ini berhenti seperti ini saja? Ketika sudah membaca tanda-tanda apa yang dilakukan dalam kegelisahan itu.
Bagi Heru Susanto, setidaknya itulah proses kreatif yang dilakukan, lebih baik menulis daripada tidak menulis. Ia juga menambahkan beberapa pendapat untuk menyanggah pendapat moderator, kutipan-kutipan yang dimuat dalam bukunya, Bagi Heru Susanto kutipan-kutipan tersebut menurutnya tidak masalah ada dicantumkan.karena menurutnya bahkan orang awam pun mampu membuat kutipan yang dibuat akademisi dalam fenomena yang terjadi. Buku MMB baginya juga memang diperuntukkan oleh akademisi sastra dan peminat dari kalangan disiplin ilmu humaniora.

Diskusi ditutup oleh moderator Diana AV Sasa, bahwa sebuah hal yang patut disesalkan bahwa pihak penyelenggara menempatkan bedah buku MMB salah sasaran akibat sebenarnya buku tersebut sebenarnya untuk kalangan terbatas. Namun gagasan ini disambut baik dengan adanya sebuah benang merah bahwa Valharald dan MMB keduanya merupakan buku pertama yang ditulis oleh penulisnya, dan semangat itu pulalah yang diambil sebagai nyawa dari tema yang diangkat oleh Srawung Art edisi Juni ini, yaitu Sebuah Permulaan.

Setelah diskusi, dibagikan pula hadiah doorprize, dua diantaranya merupakan peserta yang mengajukan pertanyaan tanya jawab pada saat diskusi buku. Dan yang lain dberikan sebagai hadiah karena telah menjawab pertanyaan dari panitia.

Edisi Srawung Art Juni kemudian ditutup dengan pemutaran video singkat kiprah ESOK dalam dua tahun perjalanan keorganisasiannya, dan sebuah sajian apik dari band inde GeTa Band yang membawakan tiga komposisi lagunya.(icha/nis)

Senin, 10 Mei 2010

Valharald : Lawan...!!!!!

Judul : VALHARALD : Ksatria Talismandala dan Pertempuran di Vincha
Pengarang : Adi Toha
Penerbit : Diva Press
ISBN : 97860295*****
Tebal : 411 Halaman

Sinopsis (1)

VALHARALD adalah sebuah novel fiksi fantasi karya Adi Toha. Berkisah tentang perjalanan dan petualangan 12 Ksatria Talismandala dalam menjalani misi dan takdirnya sebagai ksatria cahaya, menyelamatkan negeri VarchLand dari Kekuatan Kegelapan. Kedua belas Ksatria Talismandala ini merupakan orang-orang yang terpilih dengan keunikan dan karakteristik tersendiri dari beragam suku. Menjadi istimewa dengan jati diri dan latar belakangnya masing-masing.

Dalam perjalanannya 12 Ksatria Talismandala tersebut dibekali oleh sebuah kunci berbentuk segitiga yang berfungsi untuk membuka senjata rahasia dan peralatan perang yang telah lama tersimpan di tempat yang juga terahasia. Disamping senjata dan peralatan rahasia tersebut, tersimpan pula Mahkota Liafala, mahkota tertinggi negeri Varchland.

Barangkali itulah yang ingin disampaikan dalam kisah Valharald. Dua belas ksatria bisa jadi adalah diri kita yang tengah terpanggil untuk melakukan sebuah perubahan besar dalam hidup, namun kita selalu saja dilanda pertanyaan-pertanyaan: benarkah saya harus berubah? Beranikah kita untuk melakukan sesuatu yang besar dalam hidup kita?

Melawan atau Mati!


Mutiara Kecil itu…

Kejadian demi kejadian dalam hidup membawa kita kepada satu titik. Jika kita melihat ke belakang dan menyadari sepenuhnya bahwa tibanya kita di satu titik itu adalah sebuah keharusan. Kita akan semakin yakin untuk melangkah ke titik-titik selanjutnya. Meski kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita temui di titik-titik itu. (2)

Kau tidak bisa menjanjikan apa yang belum tentu kau dapatkan. Jangan pernah menjanjikan itu. Kadang takdir tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Apa yang telah kita harapkan, apa yang kita janjikan, apa yang telah kita nanti-nantikan semuanya bisa hilang dan musnah dalam sekejap. (3)

Untuk apa kita takut pada sesuatu yang belum jelas keberadaannya? Kalau pun mereka memang ada, belum tentu mereka akan menyerang kita. Siapa tahu justru mereka akan membantu kita untuk menyelesaikan ujian nanti... (Dialog Fionn). (4)

Jangan pernah menyesali apa yang telah dilenyapkan oleh waktu, ia tidak akan pernah kembali, ia tidak akan pernah kita jumpai lagi karena apa yang telah dilenyapkan oleh waktu sungguh telah berada pada sebuah tempat yang sangat jauh.... (5)


Begitulah beberapa penggalan kata-kata filosofis yang menarik perhatian saya dan bahkan saya dokumentasikan sendiri. Tak banyak namun cukup. Saya katakan beginilah seharusnya sebuah cerita dikisahkan. Ketika membaca Valharald, saya menjadi teringat masa-masa ketika paman saya memberikan dongeng sebelum tidur. Atau mungkin seperti inilah tepatnya ketika seorang penutur di masa itu menceritakan dongeng kepada anak-anak.

Valharald tidak hanya menuturkan cerita atau sekedar curahan hati. Ketika seorang pencerita asyik pada dunianya terkadang ia terjebak pada dunia eksklusifnya, membentengi diri pada pembacanya, tidak mempunyai kontak dengan penikmatnya. Penikmat sering kali dibuat bingung dengan kelebatan-kelebatan peristiwa atau gaya tuturan yang terlalu “aku”. Valharald berusaha menyentuh saya ketika penulis menyisipkan kata-kata atau pesan-pesan filosofisnya secara halus. Bahkan, saya merasa sedang berdialog dengan tokoh tersebut. Menemukan kata-kata filosofis seperti yang saya coba bocorkan di atas, menjadi sebuah “harta karun” kecil yang membuat saya keasyikan dalam dunia Valharald, dan tidak merasa digurui.

Kata-kata filosofis itulah yang saya akui menjadi semacam “reward” kecil ketika saya “dibujuk” tanpa sadar oleh penulis untuk semakin menyelami petualangan demi petualangan, cerita demi cerita, bahkan pertarungan demi pertarungan dari tokohnya. Saya bahkan tidak segan mencatat ulang, mendokumentasikan kata-kata filosofis itu. Novel ini tidak hanya menjadi semacam penghibur namun juga memancing saya untuk membaca secara aktif, terlibat secara emosi maupun retrospeksi dengan penggalan-penggalan kata-kata filosofis, yang entah sadar atau tidak terselip di banyak bagian dialog-dialog tokoh-tokohnya. Saya malah mempunyai pemikiran, apakah seperti demikian pemikiran-pemikiran filosofis yang ada dalam benak penulis?

Membaca-i “Manusia Fiktif” itu…

Di satu sisi saya sangat menikmati “harta karun” itu, di satu sisi lain saya harus terheran-heran dengan kekurangdetailan penulis dalam menangkap gejala-gejala lumrah “manusia”. Satu kejanggalan yang saya tangkap diantaranya adalah ketika penulis menuturkan persahabatan tiga orang pemuda Fionn, Urias dan Cymrodor dengan kaku. Tak ada sekelumit pun percakapan me“manusia” yang nampak, tak ada hal-hal konyol yang tesembul, tak ada keakraban atau kelucuan-kelucuan akrab khas gambaran sebuah persahabatan yang terjalin sangat lama, bahkan semenjak lahir. Tak ada kutipan-kutipan khas “boys talk” yang bisa saya temui.

Keganjilan lain adalah, usia penokohan itu sangat beragam, mulai dari yang masih paruh baya, hingga yang sudah setengah abad, namun sangat aneh apabila gaya bicara mereka juga harus meniru satu sudut pandang saja. Sangat kaku dan tidak menunjukkan pembeda sesuai dengan usia yang dituturkan oleh penulis. Begitu juga latar belakang kesukuan tokohnya, penulis masih belum memikirkan bagaimana meng”karakter”kan tokohnya, padahal ke-12 Ksatria Talismandala merupakan ksatria terpilih dari berbagai suku.

“Bungkus” Dongeng itu…

Saya masih ingat ketika mendapat cetakan pertama novel ini, mata saya langsung tertuju pada sebuah label merah yang tertera di bagian sampul depan cover ini. “Novel yang akam membuatmu GEMETAR”, begitulah yang ter-emboss di cover depan Valharald. Saya rasa emboss ini malah mengebiri konten dari novel ini. Tak ada satu isi pun yang membuat pembaca GEMETAR. Tentu lain soal apabila novel ini merupakan novel horror, saya rasa emboss GEMETAR masih cukup layak. Alih-alih kata GEMETAR, saya lebih menyarankan editor untuk mengalami edisi pembacaan saya dan mengganti kata GEMETAR dengan kata-kata lain. Tergetar, misalnya. Kata “tergetar” menurut saya lebih mewakili karena bisa menggambarkan pembaca yang akan dibuat tergetar secara pikir, emosi dan perbuatan dalam melakukan perlawanan atas ujian atau perbaikan-perbaikan perilaku seperti yang dituturkan sang penulis. Kalau memungkinkan lebih baik kalau emboss itu tak usah ada sama sekali saja, atau dalam bahasa sederhananya ditiadakan.

Saya juga kecewa ketika cover tersebut tidak memiliki orisinalitas dari segi desain cover. Setiap mata pasti langsung mengingat bahwa desain cover Valharald secara jelas mengambil dari gambar film epik-fantasi luar negeri yang telah terlebih dahulu tayang beberapa tahun lalu. Menggabung-gabungkan beberapa film secara “montage”, kemudian diedit sedemikian rupa, dan diberi judul “Valharald”.

Sinopsis di bagian belakang juga saya anggap kurang menarik perhatian saya, terlalu dilebih-lebihkan dan menurut saya hanya sekedar “lips marketing” yang kurang cerdas membaca konten Valharald sesungguhnya. Suatu saat saya coba mengintip deskripsi yang dibuat sendiri oleh penulisnya dalam sebuah grup jejaring pertemanan, dan saya akui deskripsi sinopsis yang diberikan jauh lebih membuat saya tertarik, dibanding yang diberikan di novelnya.

Kekecewaan saya pada kemasan Valharald rupanya bisa menjadi catatan tersendiri bagi editor, disamping beberapa kesalahan-kesalahan penulisan kata yang kerap kali saya temukan di sana-sini. Apakah Valharald terburu-buru dalam proses penyuntingan? Bagi saya, hal itu sangat disayangkan bagi bayi novel cerdas dan boleh dikatakan inspiratif namun terlahir secara prematur oleh penerbitnya.

Valharald bagi saya…

Novel ini sedikit banyak memiliki ikatan emosional dengan saya di sana-sini. Di satu saat saya bahkan mengakui merasa dekat dengan Gwyneira yang menyukai kupu-kupu, dan menyelami dialog-dialog filosofis nya dengan Fionn. Di saat yang lain, saya harus dibuat terharu dengan Eira yang dalam beberapa hal mempunyai pengalaman yang bagi saya mendekati pengalaman hidup saya. Satu kata, menyentuh, namun bukan sebagai sebuah tulisan yang berisi tentang kecengengan yang mengharu-biru. Valharald bercerita tentang ketegaran dan perlawanan atas ujian hidup. Seperti yang termaktub dalam salah satu kutipannya.

Harga dari sebuah perjuangan adalah ujian. Yang tak sanggup bertahan dan kalah akan tersingkir. Yang sanggup bertahan dan memenangkan perjuangan akan tetap hidup. Bukankah kehidupan adalah serangkaian pertarungan? (6)

Begitulah Valharald yang ditutup dengan sebuah bab pertempuran dengan ending yang menggantung dan menjanjikan kelanjutan pengisahan perlawanan berikutnya. Apakah Valharald menjadi korban kutipannya sendiri? Menjadi kisah yang akan dengan mudah “dilenyapkan oleh waktu” atau tidak, yang pasti saya tidak sabar menanti kelanjutan dari novel ini.


Referensi :

1. Sinopsis sebagian diambil dari info grup Facebook Valharald, http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=413848564461#!/group.php?gid=120690074616363&ref=ts

2. Valharald, hal. 135

3. Valharald, hal. 214

4. Valharald, hal. 52

5. Valharald, hal.10

6. Valharald, hal.129

Kamis, 15 April 2010

Srawung Art - Perdana (Panggung Apresiasi Bulanan Seni, Sastra dan Budaya)

Malam tadi (15/04/2010) Art Cafe, sebuah kafe di areal Jl.Brigjend Katamso 222, Waru, Sidoarjo ini, menjadi saksi atas diluncurkannya Srawung Art. Srawung Art digagas sebagai panggung apresiasi bulanan seni, sastra dan budaya ini rencananya akan digagas setiap bulan oleh Komunitas ESOK (Emperan sastra COK – Cepetan Ojo Keri) serta menggandeng dbuku sebagai pendukung utama program.

Acara dimulai pada pukul 20.00, dibuka oleh permainan perkusi perempuan oleh PSYCO NOISE, diikuti spontanitas sumbangan dari Cak Ugeng berupa pertunjukan atraksi api. Kemudian acara dibuka oleh MC. Dhika dan Icha. Pidato singkat dari Koordinator ESOK oleh Gita Pratama menjadi pengantar bagi pengunjung dan tamu untuk melatarbelakangi dan mengetahui tujuan kegiatan dari Srawung Art diselenggarakan. Gita Pratama menyampaikan harapannya agar acara ini bisa berlanjut terus untuk ke depannya, dan menjadi penghubung juga wadah lintas komunitas budaya dalam menampilkan ekspresi juga mengapresiasinya .

Setelah itu acara dilanjutkan dengan penampilan Musikalisasi Puisi dari siswa SMU Bina Bangsa. (20.27), dan berlangsung kurang lebih 7 menit. Deny Tri A., juga tidak mau kalah untuk memberikan penampilan terbaiknya membacakan puisi (20:35 – 20:45)

Diskusi yang dimoderatori oleh Diana Av.Sasa dari Indonesia Buku dan lima orang pembicara masing-masing adalah Mas Sugeng (penggiat musik dan penggagas Psycho Noise), Ilham J Baday (perupa), Alex Subairi (wakil dari komunitas “Rebo Sore”), Prita HW (penggiat literasi, ketua komunitas literasi Insan Baca) dan Mahwi Air Tawar (penulis sekaligus penggiat literasi asal Sumenep yang berdomisili di Jogjakarta) juga mampu membuka mata dan wacana pengunjung. Diskusi mengambil tajuk Pergerakan Komunitas Budaya dan Literasi ini juga menjadi ajang temu lintas komunitas yang mempunyai bendera kebudayaan untuk dapat saling bekerjasama dan diharapkan dapat saling mengelaborasi karya-karya dan penciptaan kebudayaan dalam skup yang lebih “terbuka” dan tidak menutup diri terhadap kebaruan dan masuknya jenis-jenis budaya baru selain apa yang dikembangkan oleh komunitasnya (20.45)

Mas Sugeng selaku penggagas Psycho Noise dan penggiat musik ingin memberi ruang bagi para individu yang mempunyai minat dalam bidang musik khususnya perkusi untuk bergabung dalam kelompoknya. Sementara Alex Subairi, penggiat komunitas “Rebo Sore” mempunyai harapan kepada para anggotanya etika pulang ke daerah masing akan membentuk komunitas sendiri. Prita H. W. pendiri Taman Baca Masyarakat “TBM” di Rusun Penjaringan ini mengungkapkan ia memulai pergerakannya dari skripsi. Saat ini sendiri ia mengungkapkan ada 15 perpstakaan indipendent di surabaya. Fungsi utama dari Insan Baca, sebagai komunitas literasi yang ia ketuai, adalah saling berbagi, berusaha mendekatkan buku dengan para pembacanya.
Mas Ilham selaku wakil dari seni rupa, ingin agar komunitas ini, membuat wadah dimana wadah itu bukan hanya untuk kalangan pribadi, tetapi untuk masyarakat yang ingin menikmati seni secara terbuka. Ia juga mempunyai mimpi bukan hanya sekedar mimpi, tetapi bisa direalisasikan dengan bekerja. Menjadi seniman itu adalah suatu PILIHAN.

Mahwi Air Tawar juga menyampaikan keprihatinannya dalam menyaksikan fenomena pergerakan komunitas yang hanya menggantungkan keberlangsungan komunitasnya hanya dari orang per orang saja. Anggota hanya bersifat pasif dan menjadi pengekor motor penggerak komunitas nya. Ia juga membidik aktivitas komunitas yang tenggelam dalam aktivitas kegiatan organisasi dan melupakan proses berkarya dan tidak memetik manfaat apapun dari komunitas yang diikuti oleh individu tersebut.

Benang merah masalah utama adalah ruang dan jaringan, dimana tiap komunitas tidak saling mengenal. Ruang untuk berapresiasi juga menjadi kendala. Srawung art diadakan sebagai wadah, dimana tiap komunitas dapat tampil dan mengapresiasikan komunitasnya, dan untuk memperkenalkan antar komunitas.

Beberapa catatan yang dilontarkan ketika sesi tanya jawab, salah satunya dari cak Ugeng yang mempertanyakan, mengapa komunitas seperti Rebo Sore bergerak hanya di kampus dan tidak mencoba “keluar”. Ia juga memberikan masukan kepada komunitas Insan Baca agar mulai mencoba mengajak anak-anak jalanan dalam kampanye Membaca dan menggiatkan membaca. Komunitas Insan Baca menambahkan bahwa saat ini mereka tengah berupaya untuk melakukan dan mulai dikembangkan.

Kirana Kejora, penulis sekaligus penggiat film menyatakan keyakinannya dalam harapan-harapannya, “Narsis adalah modal optimis. Jangan berpikir bahwa anak daerah tidak bisa maju, anak daerah tidak kalah dengan yang ada di Jakarta. Jadikan Surabaya bumi seniman.”

Ribut Wijoto juga menyatakan responnya bahwa ini adalah sebuah terobosan membuat ruang untuk teman yang belajar sastra, musik, teater dan lain-lain. Tantangannya adalah bagaimana wadah ini bisa memunculkan karya yang KAYA, tidak melulu dari SASTRA.

Di Jogja ada komunikasi yang CAIR, di surabaya jarang ada dialog antar lintas komunitas. Padahal diskusi diperlukan untuk memperluas pengetahuan. Srawung art diharapkan bisa menjadi wadah bagi komunitas2 untuk saling sharing.
(selesai sekitar pukul 22.00)

Acara kemudian dilanjutkan dengan performance Kirana Kejora. Ia membacakan puisi berjudul Elang diiringi dengan permainan musik tiup Saluang oleh Nawi (22.00) Dilanjutkan dengan puisi oleh cak Ugeng. Membacakan puisi karya Kirana Kejora nya yang berjudul Masih Tersisa dengan iringan permainan jimbe. (22.10). Acara ditutup oleh band indie, The Defer, sebuah band indie dengan aliran rock (22.15) (dee/nisa)

Rabu, 17 Maret 2010

Night and Fog (2009): Potret Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Resensi Film)


Genre: Drama
Starring: : Simon Yam Tat Wah
Zhang Jing Chu
Jacqueline Law Wai Kuen
Amy Tan En Mei
Audrey Chan - Ariel Chan
Directed by Ann Hui
Written by Cheung King Wai
Release year: 2009
Language: Cantonese
Subtitle: English

29th Hong Kong Film Awards
• Nominated: Best Director (Ann Hui)
• Nominated: Best Actor (Simon Yam)
• Nominated: Best Actress (Zhang Jingchu)


Seperti yang saya duga sebelumnya Night ang Fog (2009) menjadi tontonan yang menarik untuk dicermati baik dari segi teknis perfilman (sinematografi dan seni peran) maupun dari segi pesan dan inti materi ceritanya yang sarat pesan yang humanis, menyentuh dan nyata.

Night and Fog merupakan potret kasus nyata yang dialami oleh mayoritas korban kekerasan dalam rumah tangga. Kemiskinan dan kurangnya kepedulian pihak terkait menjadi titik awal pembuka yang menohok saya ketika menyaksikan thriller film ini. Night and Fog kental dengan balutan cerita problematika rumah tangga, persahabatan dan kepedulian, beban psikologis dan depresi dalam latar belakang kemiskinan. Night and Fog dibuka dengan sebuah ending yang menyayat ketika ditemukan mayat pembunuhan keluarga yang ditengarai dilakukan oleh sang suami. Kemudian karena ketakutan akan bertanggungjawab sang suami akhirnya memutuskan untuk mencederai dirinya sendiri. Sayangnya, pisau yang ia gunakan terlalu dalam melukai dirinya dan hal tersebut menyebabkan kematiannya.

Gadis desa Hiu Ling (Zhang Jingchu) menikahi seorang pria Hongkong, Sum (Simon Yam), yang sebelumnya telah mempunyai anak laki-laki dewasa, akibat ia telah hamil dari Sum. Kesenjangan umur mereka sangat jauh. Hiu Ling dan keluarga sebelumnya mempercayai bahwa Sum akan mampu mensejahterakan keluarganya. Namun ternyata keliru. Adik Hiu Ling harus menerima pelecehan seksual dari Sum, sehingga membuatnya harus pergi ke Szenchen sebuah kota yang teramat jauh dari tempat tinggalnya. Hiu Ling yang hidupnya bergantung pada Sum yang ternyata hanya pengangguran dan mengandalkan tunjangan pengangguran dari pemerintah yang tidak seberapa, harus menerima pil pahit akan ketidakmandirian Sum. Hiu Ling, Sum dan dua anak perempuannya yang kembar (Audrey Chan - Ariel Chan) akhirnya pindah ke sebuah rumah susun di Tin Shui Wai sebuah kota dengan potret kesuraman yang pekat. Untuk menyokong kehidupan, Hiu Ling akhirnya bekerja part time sebagai pelayan restoran. Kecemburuan Sum timbul merasa harga dirinya terinjak akibat istrinya yang mampu hidup mandiri dan menghasilkan pendapatan dalam pekerjaan. Meski begitu uang Hiu Ling tidak cukup untuk menyokong kehidupan keluarga tersebut, dilanda frustasi akibat Sum yang tidak bekerja, Hiu Ling menjadi mengungkit-ngungkit sifat buruk Sum yang pemalas ini. Sum yang tidak bekerja akhirnya melampiaskan kekesalan tidak hanya melalui kekerasan psikologis berupa sering marah maupun mengintimidasi Hiu Ling namun juga pada anak-anak mereka. Kemarahan Sum sendiri juga berkembang menjadi kekerasan fisik

Pertengkaran mereka pun harus sering dilihat oleh anak-anak perempuannya. Salah satu anak kembarnya menjadi seorang yang lambat belajar (slow learner), tidak banyak bicara dan menjadi seorang anak yang tidak stabil perilakunya. Sedangkan kakaknya mengambil peranan sebagai kakak yang melindungi, mengambil peranan menjadi guru, dan harus menjawab semua pertanyaan yang diajukan untuk adiknya.

Tak kuat dengan perlakuan suaminya, suatu saat ia harus menginap di penampungan perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ia mengaku merasa bebas. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan petugas sosial diptuskan mereka harus tinggal terpisah. Kedua anak mereka ikut Hiu Ling tinggal bersama kakak dan adiknya di Szechen, dan suaminya harus tinggal di Hongkong sampai mereka memutuskan rujuk kembali. Padahal bukan keputusan semacam itu yang diinginkan Hiu Ling, Hiu Ling ingin berpisah dengan Sum dan bisa hidup mandiri dan mendapatkan tunjangan bantuan dari pemerintah.

Cerita Night and Fog dialirkan dengan menggunakan flashback. Film ini juga cukup cerdas digulirkan dengan melibatkan sosok orang ketiga bercerita, dalam hal ini saksi-saksi yang diinterograsi dalam kasus pembunuhan dan bunuh diri di Tin Shui Wai. Tarikan cerita juga cukup cerdas menangkap sosok Hiu Ling mulai dari masa kecil hingga kematiannya. Gambar yang dihadirkan dalam film ini juga cukup menarik, ketika saya melihat thriller nya saya melihat gambar senja terbalik. Hal ini menarik perhatian saya dan cukup unik.

Pemilihan judul “Night and Fog” juga cukup menggelitik saya, karena ketika saya melakukan penelusuran, Night and Fog juga merupakan judul sebuah film dokumenter tentang kamp konsentrasi NAZI, apakah judul tersebut diambil dari judul film tersebut. Mungkin analisis ini hanya praduga saya, saya jadi menautkan mungkin ada benarnya juga karena ketika Hiu Ling dan kedua anaknya memasuki rumah petak susunnya tersebut ia seperti hanya menunggu bom waktu frustasi yang meledak akibat kemiskinan dan kegilaan maupun juga depresi yang dimiliki oleh Sum.

Dan akhirnya, film ini saya anggap sangat proporsional menempatkan manusia tidak hanya berkisar pada kotak hitam yang terlalu hitam dan putih yang terlalu putih. Hiu Ling digambarkan juga mempunyai sisi ketidakpedulian terhadap perkembangan putri-putrinya. Dan Sum dalam cerita ini memang digambarkan lebih mempunyai kedekatan pada kedua putrinya tersebut.

Nisa Ayu Amalia
Penggemar Buku dan Film, Surabaya

Sabtu, 06 Maret 2010

Peminat Literasi & Masyarakat : Sebuah kesenjangan orientasi literasi

Pengembangan literasi (kesusastraan) pada tingkat-tingkat daerah tampaknya mulai harus diberdayakan kembali. Penggiat-penggiat sastra saat ini tampaknya harus memulai kerja yang ekstra keras, dalam rangka menciptakan suasana literasi/ kesusastraan yang lebih kondusif, supportif dan mendidik.


Berangkat dari sebuah tagline “"Jika aku menulis buku, kemungkinan tetanggaku, tidak akan membaca. Tapi jika aku mendirikan pondok baca, pastinya tetangga, anak tetangga, warga desa tetangga, orang lewat, bisa mampir dan ikut menikmatinya". Kalimat tagline ini saya kutipkan dari sebuah semboyan milis tetangga “tamanbaca”. Inilah yang coba saya angkat sebagai bentuk penyadaran ataupun kalau bahasa saya “colekan” bagi penggiat-penggiat literasi.


Harga buku yang membumbung, dan tidak sebanding dengan derasnya perkembangan siaran televisi yang semakin marak, menjadikan masyarakat tidak punya alternatif sarana pembelajaran dan hiburan yang suportif, mendidik dan atraktif. Daripada membeli buku yang harganya mahal, lebih baik menonton televisi saja yang gratisan. Sementara sajian televisi saat ini kita perhatikan tidak sedikit juga tayangan-tayangan yang seperti tidak mempunyai filter. Saat ini tayangan-tayangan yang disajikan lebih banyak yang monoton, mengumbar kekerasan, konsumerisme, sensualitas, dan budaya membicarakan permasalahan orang lain (acara-acara gosip)


Kalaupun ada masyarakat yang haus membaca, mereka akan disibukkan dengan pergi kesana-kemari mencari perpustakaan, kemudian diributkan dengan proses kepengurusan kartu keanggotaan, ada pula perpustakaan-perpustakaan yang mewajibkan membayarkan uang dengan sejumlah tertentu bagi para peminat baca untuk sekedar menikmati koleksinya. Beberapa perpustakaan telah digagas, mulai dari perpustakaan keliling dengan menggunakan mobil kap terbuka hingga perpustakaan sepeda. Pepustakaan keliling dengan mobil memang mulai diadakan, namun hal ini hanya sebatas pada kota-kota besar, terhitung di Surabaya terdapat 3-5 mobil operasional perpustakaan mobil keliling. Berbeda dengan kota-kota kecil jarang ada bahkan tidak ada fasilitas semacam ini. Hal yang menjadi catatan bagi perpustakaan mobil keliling, adalah mobil operasional yang digunakan masih berkesan terlalu eksklusif. Memang bagi keluarga awam, hal ini menjanjikan kenyamanan, tapi bagi masyarakat kelas bawah (misalnya, pengamen, anak-anak jalanan, dan sebagainya) ini menimbulkan kejengahan, ada perasaan minder ketika mereka dipersilakan membaca di perpustakaan mobil ini. Kultur “mobil” ditengarai tidak “dekat” dengan kultur keseharian mereka yang bersahaja, dan sederhana. Padahal, justru masyarakat dengan tingkat perekonomian seperti inilah yang patut untuk difasilitasi.


Penggiat literasi tampaknya lebih condong meributkan diri pada proses kreasi, penciptaan hasil karya, proses bikin buku sendiri, proses perang counter hegemoni dan sebagainya. Hemat saya, ini justru tidak dipusingkan oleh masyarakat awam. Kalau ada yang lebih memilih menjadi “penggiat literasi” biasanya akan banyak yang berbicara masalah “Karyamu mana?”. Jarang sekali para penggiat literasi yang menanyakan “Karyamu mana, yang berguna bagi masyarakat?”, padahal bagi masyarakat, ini lah yang paling banyak dibutuhkan.


Untuk itu, saya mengajak para “penggiat literasi” untuk sekedar melongok kepada masyarakat, berkacamata pada kebutuhan mereka, dan menjawab kebutuhan mereka dengan sebuah “karya” yang bermanfaat". Karya yang tidak selalu, berbentuk "buat buku sendiri" , mengesampingkan terlebih dahulu “sedikit saja” hasrat yang ada, atas sebuah perdebatan yang tidak terlalu krusial. Pada dasarnya masyarakat tidak kekurangan bahan membaca, namun masyarakat kekurangan sumber daya dalam menyokong minat bacaannya.



* Penulis, Nisa Ayu Amalia, member ESOK, anggota penjaga gerbang ilmu Perpus Emperan ESOK


Sby, 141208

Refleksi Aksi Solidaritas TOLAK PEMBAKARAN BUKU






Apa yang terbersit di otak saya ketika seorang rekan yang sangat mencintai BUKU layaknya jiwanya dan orang-orang yang dikasihinya, menuliskan kalimat berikut di dinding Facebooknya.

Beri aku 10 pemuda yang membara cintanya pada BUKU, dan aku akan mengguncang mereka para pembakar buku itu!!!! Ada yang mau ikut aksi turun jalan?

Begitu lah yang terpampang di dinding beranda beliau.

Aktivitas saya sebenarnya adalah seorang pegawai honorer salah satu konsultan SDM. Tak ada yang dapat menautkan saya dengan sosok Diana Av. Sasa, Redaktur Pelaksana I:BOKOE, selain kecintaan kami dalam sesuatu yang sama. BUKU.

Layaknya orang jatuh cinta, tentu saja saya iri dan cemburu dengan beliau. Dengan gamblang beliau memberikan perspektif baru memperluas wacana saya mengenai sesuatu yang kami cintai buku, sastra dan pergerakan. Dan, kali ini ajakan beliau terus terang membuat saya tergugah.

Sebelumnya, saya telah mengikuti perkembangan berita atas pembakaran buku yang dilakukan pada saat penyaluran aspirasi oleh beberapa elemen masyarakat.

...Rabo, (2/9/09) Front Anti-Komunis (FAK) berdemonstrasi di depan kantor Jawa Pos. Mereka terdiri dari Paguyuban Keluarga Korban Pemberontakan PKI 1948 Madiun, Centre For Indonesian Communities Studies (CICS), Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur, Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), dan MUI Jawa Timur, Forum Madura Bersatu (Formabes) Jawa Timur, DHD ‘45 Cabang Surabaya, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), serta beberapa kelompok lainnya.

Mereka keberatan atas beberapa pernyataan Soemarsono, ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang dimuat dalam tulisan bertajuk, Soemarsono; Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya. Catatan terkait dengan sejarah dan masa lalu Soemarsono tersebut dimuat bersambung tiga seri di halaman depan Metropolis Jawa Pos, 9-11 Agustus 2009, yang ditulis Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan.

Setelah membacakan pernyataan sikap, Arukat, Muhammad Khoiruddin, dan Nazir Zaini (Formabes) beramai-ramai membakar buku testimonial Soemarsono berjudul Revolusi Agustus, Kesaksian Pelaku Sejarah....

Begitulah kurang lebih kronologis berita yang terangkum dari pemberitaan yang saya terima selama ini.

Saya berang sekali ketika turun berita tersebut. Saya telah mengalami sendiri, menjadi korban atas vandalisme, sewaktu saya kecil. Orang yang seharusnya memberi saya panutan justru melarang saya menulis. Bahkan di tahun ke 3 saat saya bersekolah dasar, saya harus mendapati BUKU kesayangan saya DIBAKAR. Buku itu adalah buku harian saya. Maka, seperti menuangkan kembali asam cuka ke luka yang belum kering perasaan saya atas kecintaan pada BUKU dan dunia tulis menulis harus menganga kembali. Apa salah otak saya yang mempunyai pemikiran tersendiri? Salahkah saya yang memilih buku sebagai tempat menuangkan aspirasi dan kegundahan hati. Saya tidak pernah berkonflik dengan kertas, pena dan buku. Mereka adalah teman yang sabar, jujur dan mengerti segala tentang saya. Belajar dari mereka adalah belajar bagaimana membuka wacana, menerima perbedaan-perbedaan dengan kasih dan menghargai. Dan,anda silakan membayangkan bagaimana perihnya ketika karib dan sesuatu yang kita kasihi dimusnahkan, diberangus hidup-hidup di depan mata.

Bagi saya, tak ada hakikat yang mutlak dalam menyokong dan menuju kebenaran yang mendekati kesempurnaan. Namun, hal tersebut akan bisa diraih, bila kita mampu memandang suatu fenomena dari beragam sudut.

Seperti halnya orientasi berikut, ketika sekumpulan orang yang ditutup matanya diminta untuk memberikan deskripsi tentang suatu benda asing. Maka, tentu saja tidak ada jawaban yang sempurna. Fenomena akan utuh kita tangkap, bila kita mampu mengatur jarak dan "membuka mata" kita atas perspektif baru. Jarak dibutuhkan, agar kita dapat memandang sesuatu dengan objektif. Membuka mata adalah agar kita mampu menangkap fenomena secara menyeluruh dan detail. Tanpa perspektif yang menyeluruh kita tidak akan mencapai kebenaran tersebut.

"Membaca" berbagai macam bahan adalah salah satu upaya memperluas wacana dan mengatur jarak terhadap fenomena. Dan itu tidak akan bisa terwujud bila kita hanya melakukan tebang pilih atas informasi yang kita terima.

Maka, bagi saya "Sejarah seharusnya, dikatakan benar bila itu benar, dan dikatakan salah apabila salah". Selamat "MEMBACA" fenomena, dan jangan rusak buku-buku anda.


Nisa Ayu Amalia Elvadiani
(Pecinta Buku dan salah satu Penggagas Perpustakaan Emperan ESOK)

Jumat, 05 Maret 2010

Menjemput Fajar, Mengintip Pantai Karang Bagusan (1)


Sopo sing klempon, bakalan ditinggal
(Siapa yang kesiangan bangunnnya, bakalan ditinggal)

Begitulah kata-kata yang didengung-dengungkan oleh salah seorang karib yang menjadi penaung kami ketika sampai di sebuah kota kabupaten yang letaknya berada di pesisir utara Jawa. Jepara begitu menyebutnya. Sebuah kota yang dahulunya berasal dari sebuah desa yang bernama desa Semat kemudian berganti menjadi Jepara. Sebenarnya seorang karib sudah mengatakan pada saya asal kata Jepara, tapi ya sudahlah berhubung ingatan saya kurang begitu baik menyimpan cerita itu, kalau boleh saya lewati saja cerita itu.

Sewaktu itu, kami, yaitu saya, Gita, Iwan Kriwul, Mas Nawi, dan Mas Iwan Pucang, berkesempatan mengunjungi Jepara dalam rangka undangan untuk mengisi acara Transmisi 2009, sebuah acara festival kesenian yang diprakarsai oleh Pemda Kabupaten Jepara beserta gabungan seniman lokal Jepara. Selain dimeriahkan oleh seniman-seniman Jepara, mereka juga mengundang berbagai komunitas dan seniman-seniman lainnya dari kota-kota lain di Jawa. Tiga hari berturut-turut acara tersebut digelar di depan Museum R.A Kartini, Kompleks Alun-Alun Jepara. Menurut salah satu penggagas acara, kegiatan tersebut digelar dalam rangka mendekatkan seni dan menggiatkan pekerja seni di kawasan Jepara dan sekitarnya untuk kembali menggeliat.

Kembali ke kutipan kalimat diatas, bagi saya yang orang Jawa, baru pertama kali ini saya mendengar kosakata “klempon” dalam pembicaraan ini. Saya hanya mengingat sebuah kata “klepon” yang berarti nama jajanan pasar yang dibuat dari tepung beras atau singkong dengan isian gula merah dibentuk menjadi adonan bola-bola kemudian dikukus dan diberi taburan kelapa parut kukus. Ternyata, apa yang saya kira salah. Setelah saya tanyakan arti kata nya kata “klempon” berarti bangun kesiangan. Kata ini mempunyai padanan kata dengan kata “kawanen” atau “karipan” dalam bahasa Jawa.

Kata itu tercetus ketika di malam sesudah penampilan kami. Mas Pincuk salah satu penggagas acara menjanjikan untuk membawa kami menikmati pemandangan laut khas pesisir utara. Tak salah bila kalimat itu tercetus, ternyata kami ingin ditunjukkan fajar pantai. Pantai Karang Bagusan, begitu masyarakat menyebutnya. Namun ada yang membuatnya berbeda, pantai ini milik pribadi, tidak sembarang orang yang mengetahui keberadaan pantai ini. Boleh dikatakan pantai ini masih perawan, bahkan tidak banyak masyarakat sekitar yang ada disana tahu keberadaannya. Kurang lebih 20 km dari pusat kota, kami memutuskan untuk pergi kesana dengan menggunakan kendaraan truk pick-up putih terbuka milik mas Anam. Kami diantar oleh tiga pemandu Mas Pincuk sendiri, Mas Heri dan Mas Anam yang rela berbaik hati menjadi sopir pick-upnya.

Setelah sampai, kami hanya mendapati sebuah perkampungan nelayan kecil. Di depan kami terdapat sebuah kanal yang menjadi tempat untuk menambatkan perahu-perahu milik penduduk. Kanal itu menyambung hingga di sebelah kiri kami kemudian semakin lama semakin menyempit. Di ujung kanal tampaknya terdapat sebuah daratan kecil yang terpisah oleh kanal seukuran sungai. Mas Heri memandu kami meniti sebuah jembatan setapak yang menghubungkan daratan kecil tersebut dengan bagian pulau. Kurang lebih berjalan lima puluh meter di ujung jembatan, sampailah kami di sebuah pintu usang yang telah rompal.

Tak ada yang menyangka pintu kecil itu jalan menuju “dunia lain”, begitu saya menyebutnya. Pintu itu seukuran seorang dewasa tinggi dan lebarnya. Pintu itu hanya terdiri dari sebilah papan usang yang mulai lapuk dengan engsel yang sangat sederhana ber-kereyot penuh karat. Lebih mirip sebagai pintu gudang tua, daripada sebuah gerbang pulau. Cukup sebuah dorongan kecil saja, maka pintu tersebut terbuka. Masuk ke bagian dalam kami disambut oleh rerimbunan tanaman.

Dalam benak saya, saya cukup heran. Bukannya di awal kami diajak ke pantai bukan ke hutan? Lalu kenapa yang kami temui malah rerimbunan tanaman semacam semak belukar hutan?.....

-bersambung-

Saya dan Dewan Pembaca Indonesia Buku

Postingan berikut adalah postingan kegiatan saya yang diselenggarakan dan dirangkum oleh Komunitas Indonesia Buku, saat itu saya mendapat kehormatan untuk mencoba menjadi Dewan Pembaca, tim pembedah, dan mendiskusikan sebuah buku dalam periode yang telah ditentukan. Artikel ini telah diarsipkan sebelumnya pada situs Indonesia Buku dan di sini

LASMI: TANGGAPAN DEWAN PEMBACA

Diposting oleh Diana AV on Feb 20th, 2010 di topik Sidang Pembaca. Anda dapat mengikuti diskusi pada berita ini melalui RSS 2.0. Anda bisa juga meninggalkan komentar dan trackback


“Sebuah fragmen dalam sejarah Indonesia yang ditulis dengan sangat intens, deskriptif, dan tidak memihak,” tulis Noorca M. Sardi di sampul depan novel Lasmi.


Rama Prabu dari tanah Parahyangan sontak menghentak dan berseru: “Komentar itu hanya penghias sampul. Lipstick saja. Kontras sekali dengan isi dan kesimpulan yang ditulis di sampul belakang. Jelas sekali sinopsis itu tidak berimbang dan memihak.”


Prabu mengurai, “Pengakuan penyesalan Lasmi karena beliau menjadi aktivis (ketua Gerwani desa) menjadi sebuah kontradiksi dengan sifat Lasmi di awal cerita. Lihat kesaksiannya ‘…aku tak pernah menyangka sama sekali bahwa menjadi bagian dari Gerwani kemudian bisa dikategorikan sebagai dosa sosial. Andaikan aku tahu Sut, tentu aku tak ingin terlibat. Andaikan aku bisa meramalkannya Sut, aku tak ingin mengambil risiko sebesar itu. Sungguh, engkau pun tahu, aku menyukai kegiatan yang menyangkut masyarakat jadi lebih pintar dan mandiri, namun aku bukan orang yang berani mempertaruhkan nyawa anak kita…’”


“Alasan meninggalnya Gong inilah yang menjadikan Lasmi terpuruk secara ideologis. Tapi penerbit telah salah menginterpretasikan keterpurukan idiologis dan psikologis Lasmi dengan mengatakan bahwa dia terjerumus semangat zaman, menjadi tokoh organisasi perempuan Gerwani dan mengatakan bahwa Gerwani, organisasi kaum perempuan yang ikut terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Sejauh manakah kayakinan itu?”


Keresahan Prabu mengenai latar sejarah ini diamini Diana Sasa, yang sedari awal mengawal jalannya sidang. Kata penulis dari Surabaya ini: “Setahu saya, aktivis Gerwani adalah kader-kader terpilih. Mereka yang tertangkap, tersiksa, dan terbuang nyaris di sepanjang sisa hidupnya pun, tak pernah saya dengar menyesali diri telah menjadi bagian dari Gerwani. Mereka adalah kader ideologis yang militan.”


Untuk menguatkan pendapat itu Sasa coba menyurungkan data dari tiga orang periset Gerwani. Saskia E Wieringa (Penghancuran Gerakan Perempuan dan Kuntilanak Wangi), Fransisca Ria Susanti (Kembang-kembang Genjer), dan Hikmah Diniah (Gerwani Bukan PKI). Dari ketiganya tak ada kesimpulan bahwa gelombang besar aktivis utama Gerwani menyesal telah bergabung.


Menurut jawara blog resensi, Nur Mursidi, dalam novel ini, sejarah peristiwa tragis 1965 memang hanya dijadikan tempelan, sehingga nyaris tak memberikan aroma baru kecuali keberadaan tokoh dengan pernik-pernik permasalahan dan setting cerita (di sebuah desa di Malang). Padahal, novel sejarah sebenarnya bisa dijadikan sebuah rekonstruksi. Tapi, dalam novel ini hampir tak ada fakta baru yang disuguhkan oleh pengarang. PKI tetap sebagai tertuduh dan Lasmi tidak lebih sebagai korban.


“Saya menyayangkan keputusan penulis membawa isu sentral rekonsiliasi nasional ke ranah fiksi dengan proporsi lebih banyak unsur sejarah dan idealogis dibanding unsur cerita. Lasmi menjadi seperti ‘kue lemper’ yang enak dengan kesederhanaannya, namun didandani plot historis, kultural yang penuh dan kurang pengendapan. Saya merasa membaca protes sosial di masa kini, diteriakkan perempuan aktivis masa kini dibanding novel tentang aktivis Jawa, dari sudut pandang suaminya. Singkatnya, saya kebingungan apakah membaca esei dengan potongan data mentah, atau novel tapi minim konflik manusia di masa itu? Coba simak dialog hal. 72, kata ‘…Oke ya, Pak?’ saat menjadi pembicara masyarakat tani masa itu, saya rasa sungguh janggal,” urai si pemilik suara merdu, Nisa Diani.


“Riset adalah kelemahan mendasar dari novel ini. Sangat lemah sekali. Bertaburnya kata ‘konon’ dan ‘kabarnya’ menjadikan novel ini semacam novel sejarah konon. Katanya dan katanya. Misal, ia tak dapat menjelaskan mengapa orang Jawa tak mengenal nama belakang atau nama keluarga. Juga alasan apa orang Jawa meletakkan bendera putih di tonggak atap rumah ketika mendirikan rumah. Di sini, ia bersembunyi di balik kata entah, konon, kabarnya, mungkin, yang menurut saya membuatnya kerdil,” tandas Sasa.


“Kekuatan sebuah novel memang terletak pada kekuatan narasi,” lanjut Mursidi. “Tapi dalam kepenulisan novel, dikenal sebuah penulisan dengan cara menggambarkan, bukan menceritakan. Pada aras inilah, Nusya Kuswantin kerap berlaku menceritakan dan lemah dalam penggambaran. Tak salah, novel ini pun serasa kering dan mirip catatan diary Sutikno (tokoh ‘aku’) untuk mengenang keberadaan Lasmi, istrinya yang mati dieksekusi karena menjadi korban. Capaian estetis yang dielaborasi pengarang pun ‘tidak mendedahkan teknik baru’. Maka, cerita pun berjalan dengan datar, tidak berpilin, dan njelimet. Bahkan kering dialog. Padahal, keberadaan dialog bisa membangun kekuatan sebuah alur.”


Segendang dengan Mursidi, Rama Prabu mencatat bahwa memang selain novel ini sangat minim dialog, penokohan Sutikno (Tikno) dan Lasmi pada beberapa dialog di awal bab tidak konsisten dalam menggunakan istilah dan kelugasan penggunaan bahasa. Penempatan istilah panggilan untuk istri, ibu mertua dan bapak mertua masih disamakan dengan sebutan yang sama seperti pada orang lain. Padahal dihayati atau tidak, aku di sini telah menjadi bagian yang satu dalam ikatan keluarga sebagai tokoh yang bercerita. Beberapa istilah bahasa daerah (Jawa) banyak yang tanpa catatan kaki yang bisa dipastikan akan menyulitkan pembaca di luar kultur dan penguasaan bahasa Jawa.


Hernadi Tanzil, resensor dari sebuah pabrik kertas di Bandung, juga menyayangkan kurang tereksplorasinya karakter Lasmi sebagai tokoh sentral. Karena dituturkan melalui sudut pandang suaminya, otomatis pembaca tak banyak mengetahui bagaimana konflik batin yang dirasakan Lasmi selama masa-masa perburuan terhadap dirinya. Hal ini hanya terungkap melalui surat panjang Lasmi untuk suaminya. Walau telah tewakili oleh surat tersebut tentunya akan lebih menarik jika di sekujur novelnya ini pembaca akan disuguhkan konflik batin yang dialami Lasmi terutama saat masa-masa perburuan terhadap dirinya.


“Saya juga merasakan kesan bahwa penulis kurang sabar dalam mengembangkan kisah Lasmi ini. Ada beberapa hal yang sebetulnya bisa dikembangkan, misalnya kisah pelariannya yang nampak kurang tereksplorasi dengan baik. Semua terjadi selewat-selewat saja padahal jika hal ini dikembangkan pasti akan lebih menarik lagi,” lanjut Tanzil.


Soal alur pelarian ini, Rama Prabu sependapat dengan Tanzil. “Pembaca tidak dibawa merasakan adegan pada kondisi tahun 1965. Penulis mungkin lupa bahwa masih banyak yang dapat dikembangkan dari tulisan ini sehingga pembaca benar-benar merasakan pelarian, perburuan Lasmi dan Tikno sang suami yang akhirnya gila itu menjadi lebih mencekam. Bisa saja suatu ketika Lasmi harus melakukan pelarian yang tak bisa terbayangkan oleh pembaca. Perhatikan saja hampir tak ada adegan kerjar-kejaran dan sembunyi yang mengendap senyap di semua jalur perburuan pelarian Lasmi, yang ada hanya pindah-pindah ‘ngungsi’ dari satu tempat kerabat ke kerabat lainnya.”


Dan di tengah novel, semua anggota Dewan Pembaca dibuat terkejut dengan munculnya transkrip pidato Bung Karno. Transkrip itu menghabiskan berlembar-lembar halaman dalam novel ini. Menurut Tanzil, “Hal ini bisa jadi bumerang, di satu pihak mungkin ada orang yang suka, namun di lain pihak bagian ini bisa jadi membosankan karena seolah terlepas dari alur kisah yang sedang dibangun.”


Dengan manis, Nisa mencoba memberi permakluman, “Tampaknya latar belakang penulis mempengaruhi cara berceritanya. Latar belakang penulis yg aktivis, jurnalis mungkin terlanjur terbiasa menulis dengan struktur dan gaya non fiksi yang rigid. Penulis sepertinya gamang ketika memasuki dunia fiksi sekaligus membahasakan data non fiksi (sejarah) dalam tataran kehidupan sehari-hari di masa itu.”


“Meski demikian, novel ini tetap tidak bisa dikatakan sebagai sebuah novel yang gagal atau tidak berhasil,” tutur Mursidi. “Pengarang berhasil membangun karakter Lasmi dengan kuat. Pada akhir kisah bahkan pengarang meneguhkan bahwa pilihan Lasmi menjalani eksekusi itu sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus protes secara masif –menggugah orang untuk memikirkan tragedi pembantaian massal yang terjadi di negeri ini. Tidak salah, kalau pengorbanan Lasmi itu sebagai bentuk anti-kekerasan. Selain itu, dalam hubungan antara suami dan istri dalam rumah tangga, novel ini terasa kuat menggelorakan emasipasi terhadap wanita –persamaan derajat.”


Rama Prabu setuju novel fiksi historis ini selayaknya dapat dijadikan bahan pengingat bahwa pasca tragedi 30 September itu banyak nyawa yang hilang dalam pembantaian masal, ada banyak keluarga yang tercerai-berai, ada banyak silsilah yang tercerabut dari jalur kemanusiaan. Kini, kita hanya bisa mewartakan bahwa hal demikian bisa saja terjadi disaat ini dan masa depan ketika kita tak bisa mengharga nilai perbedaan dan kemanusiaan! Jalur keadaban manusia hanya ada di tangan manusia, dan kita adalah manusianya!


Demikian pula Tanzil, ia setuju bahwa dalam novel ini penulis berhasil menguggah kesadaran pembacanya untuk memaknai peristiwa pembantaian di tahun 65 dalam perspektif kemanusiaan.


Andreas, aktivis Paris Van Java yang sedari awal tak banyak bicara akhirnya pun menimpali. Tulisnya: “Novel ini adalah kesaksian semangat zaman tentang retorika penguasa, masa silam, mimpi buruk, perjuangan yang gigih, harapan klise dan pilihan yang penuh penyesalan yang dengan cepat menjerat dan memerangkap kita dengan telak. Kekuatan naratif dalam melodrama novel ini secara perlahan-lahan namun pasti, berhasil menyeret kita pada rahasia hitam sejarah Gerakan Wanita Indonesia yang lama terbungkam. Dengan telak menawarkan sejumput keberpihakan kepada dua pihak yang sedang bertarung demi suatu kemenangan kecil, tapi menghasilkan kekalahan yang sama-sama besar.”


Lasmi, lanjut Andreas, adalah novel realis yang nyaris surealis. Ada kebahagian yang aneh dalam penderitaannya, sekaligus penderitaan yang ganjil bahkan dalam kegembirannya. Kisah yang sangat pedas, mengambang dan gelisah tentang bagaimana menghargai sebuah pilihan. Ada tetirah yang indah sekaligus mimpi buruk dalam perjuangan Lasmi. Ada darah dan airmata yang subtil. (DS)


Menelusur Jejak R.A. Kartini : Perempuan bangsawan, terpelajar, penyuka seni kelahiran Jepara



Dalam rangka undangan untuk mengisi acara Transmisi 2009, sebuah acara festival kesenian yang diprakarsai oleh Pemda Kabupaten Jepara beserta gabungan seniman lokal Jepara kami, yaitu saya, Gita, Iwan Kriwul, Mas Nawi, dan Mas Iwan Pucang, berkesempatan mengunjungi Jepara. Selain dimeriahkan oleh seniman-seniman Jepara, mereka juga mengundang berbagai komunitas dan seniman-seniman lainnya dari kota-kota lain di Jawa. Tiga hari berturut-turut acara tersebut digelar di depan Museum R.A Kartini, Kompleks Alun-Alun Jepara yang merupakan jantung kota tersebut. Sembari menunggu giliran penampilan tak ada salahnya kami melongok-longok sekejap isi dari bangunan Museum tersebut. Kami masuk begitu saja tanpa membayar tiket yang biasanya dibandrol dengan nominal Rp. 1000, untuk dewasa. Pada saat itu memungkinkan, karena kebetulan kami adalah salah satu pengisi acara dalam pagelaran kesenian yang diadakan oleh Pemda Jepara.

Di bagian depan kami disambut dengan patung ukuran setengah badan R.A Kartini yang terbuat dari perunggu. Ketika masuk ruangan demi ruangan memang tidak ada pengunjung lain, sehingga kami dengan leluasa menelusuri satu demi satu ruangan yang ada. Aroma kayu jati khas ditambah suasana remang-remang, menjadi salah satu suasana yang mungkin akan dirasa kurang nyaman bagi beberapa pengunjung. Beberapa rekan bahkan mengakui ketika masuk ruangan museum akan diserbu dengan perasaan merinding dan mampu menegakkan bulu kuduk. Namun keasyikan menjelajahi jejak perjuangan Ibu Kartini jauh lebih membangkitkan rasa penasaran saya saat masuk ke bangunan tersebut.

Ruang Museum R.A. Kartini terbagi atas 4 ruang utama sebenarnya, Ruang pertama adalah ruang menyimpan dokumentasi penting koleksi peninggalan RA Kartini. Ruang kedua, adalah ruang yang menyimpan dokumentasi sejarah atas Kakak dan seseorang yang cukup berpengaruh atas pemikiran R.A Kartini, yaitu DRS. R.M.P Sosrokartono seorang sarjana lulusan Leiden, Belanda yang menguasai 26 bahasa, dan merupakan ahli pengobatan dengan media air putih dan sarana kata agung “Alif (ٵ)” Ruang ketiga, berisi koleksi benda-benda yang bernilai sejarah antara lain terdapat tulang ikan raksasa “Joko Tuwo” dengan panjang kurang lebih 16 meter, berat kurang lebih 6 ton, lebar 4 meter, tinggi 2 meter dan kurang lebih berumur 220 tahun. Tulang ikan ini ditemukan di perairan Karimunjawa pada pertengahan bulan April 1989. Ruang Keempat berisi koleksi kerajinan Jepara, ukir-ukiran, keramik, anyaman bambu dan rotan, hasil karya lomba ukir serta alat transportasi jaman dulu.

Ruang koleksi peninggalan R.A. Kartini dibagi dengan partisi yang lebih kecil lagi, yaitu masa kecil R.A. Kartini dan masa sesudah ia menikah. Dalam ruangan ini selain terdapat peninggalan asli R.A Kartini seperti mesin jahit, kotak bothekan atau penyimpan jamu-jamuan R.A. Kartini, juga terdapat dokumentasi replika tulisan tangan R.A. Kartini.

Akan datang jua kiranya keadaan baru dalam dunia Bumi Putera, kalau bukan oleh karena kami tentu oleh karena orang lain.

Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme itu dengan segala apa yang ada pada kami. Dan andaikan hanya ada satu potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia.

Dan siapakah yang lebih banyak dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia ialah wanita, ibu, karena haribaan ibu itulah manusia, mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali.

Kaum muda masa sekarang, tiada pandang pria atau wanita, wajiblah berhubungan masing-masing sendiri-sendiri memang dapat berbuat sesuatunya akan memajukan bangsa kami, tetapi apabila kita berkumpul, bersatu, mempersatukan tenaga, bekerja bersama-sama, tentu usaha itu akan lebih besar hasilnya.

Kemenangan seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri.


Kelima potongan pesan tersebut terpampang terpahat pada lima potongan besar kayu jati ukiran ukuran tinggi kurang lebih 2 m dan lebar 1,5 m. Kelima pesan tersebut merupakan beberapa pesan yang termaktub dalam penggalan surat-surat R.A. Kartini.

Ukiran pesan kayu tersebut juga dapat ditemui bila kita mengunjungi sebuah situs sejarah yang berada di kawasan pusat kota Jepara ini. Museum R.A Kartini, bangunan yang diperuntukkan untuk menyimpan dokumentasi sejarah, pahlawan perempuan Indonesia, dan beberapa koleksi sejarah lain Jepara.

Di samping, mengembangkan pemikiran-pemikiran radikal nasionalisnya, Kartini dan saudara-saudara perempuannya juga merupakan bangsawan yang sangat menyenangi kesenian, beberapa lukisan hasil karya saudara Kartini maupun karya Kartini sendiri juga dipamerkan, disamping hasil kerajinan tangan berupa renda dan sulaman tangan R.A. Kartini.

Setelah masuk satu demi persatu ruangan kami memperoleh banyak bekal, sebuah pesan pendek yang membuat saya selalu terngiang-ngiang hingga kisah perjalanan ini dikisahkan. Sebuah pesan tentang menghargai arti dan makna peran seorang ibu bagi perkembangan derajat dan budi seorang manusia.

Dan siapakah yang lebih banyak dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia ialah wanita, ibu, karena haribaan ibu itulah manusia, mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali


(Penulis, Nisa Ayu Amalia)


Ref.:

1. Museum Kartini, http://navigasi.net/goart.php?a=mukartin
2. Museum Kartini, http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=2975&Itemid=1475
3. Museum R.A. Kartini, http://www.museum-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=64&Itemid=63

dimuat di
http://yanahaudy.net/?Library:Istimewa:Mengecap_Jejak_RA%26nbsp%3BKartini_di_Jepara

(Elle Eleanor) Thriller Tipikal : Sebuah kegagalan pembaruan plot


Penulis: Zeventina OB, Ferry Herlambang Zanzad (Pseudonim : Zev Zanzad)
Terbit : Juni 2009
Penerbit: Kakilangit Kencana
ISBN: 9786028556xxx
Ukuran: 12,5 x 20
Cover: SC
Halaman: 455 /
Berat Buku: 450 gram

Berapa persen dari anda yang pernah berlibur? Utamanya ke villa? Berhati-hatilah karena tampaknya villa bisa menjadi mimpi buruk anda. Bahkan dalam pembicaraan yang ekstrem, villa bisa menjadi tempat anda menjemput maut. Semoga tidak ada pengusaha atau investor villa yang membaca tulisan saya hehehehe… ^^

Sudah banyak sekali sineas-sineas asing dan dalam negeri ataupun penulis-penulis cerita thriller yang membidik lokasi asing nan misterius yang dikunjungi sebagai setting dalam cerita thriller mereka. Setting seperti rumah kosong, villa angker yang jauh dari keramaian ataupun tempat-tempat rekreasi asing, sudah terlalu sering diceritakan. Kemudian tokoh-tokoh tersebut terjebak dalam urban-legend yang diyakini keberadaannya pada lokasi tersebut. Sebut saja beberapa judul film berikut yang memanfaatkan setting lokasi-lokasi tempat-tempat misterius Kuntilanak, Donkey Punch, I Know What You Did Last Summer, Quarantine, Farm House, The Strangers, Suster Ngesot, Suster N, Lawangsewu, House of Wax, Captivity, Turistas go home, KM 14, The Other, The Ghost of Mae Nak dan masih banyak lagi daftarnya.

Rata-rata alur cerita tersebut berjalan dengan tema cerita demikian, sekelompok pemuda sukses, nan cantik dan rupawan, kaya sedang melakukan perjalanan liburan, memilih sebuah villa. Tempat yang wajar bagi mereka sehubungan dengan kekayaan yang mereka miliki. Mereka berniat bersenang-senang melepas penat. Namun apa yang ditemukan disana, ternyata sebuah misteri peristiwa traumatik masa lalu, kegilaan-kegilaan yang tak terungkap dan dendam-dendam terselubung yang menaungi para penghuni dan pengelola villa tersebut.

Namun, jika anda sudah terlanjur menginap di rumah besar itu, jangan khawatir, ada cara ampuh agar anda bisa selamat melewati teror demi teror.

Pertama, jadilah yang paling berani dan pimpinlah kelompok anda dalam menghadapi situasi-situasi sulit. Jangan bertindak tanggung-tanggung atau setengah-setengah, karena anda pasti tidak akan selamat.

Kedua, jika anda tidak bisa menjadi orang pertama dalam kelompok anda, jadilah orang kedua yang selalu bisa diandalkan oleh orang pertama. anda pasti akan selamat.

Ketiga, jadilah orang yang paling tidak penting, anda bisa memilih menjadi orang yang paling penakut, atau menjadi orang yang paling lucu. atau menjadi orang yang paling malas. Pokoknya jadilah orang yang paling tidak melakukan apa-apa, jangan sok berani, jangan sok bijak, cukup diam dan selalu mengiyakan perkataan orang pertama dalam kelompok anda, atau kalau ada apa-apa selalu lah bersama dengan orang yang paling berani, anda pasti akan selamat.

Kalau anda menemui jalan atau rute baru jangan ambil resiko, kembali saja ke ruangan yang menurut anda paling anda ketahui, jangan bertindak bodoh untuk menelusur mencari jalan baru.

Tidak perlu anda berpusing-pusing mencari siapa dalang dibalik semua teror. Carilah orang asing yang paling jelek anda temui, atau orang yang paling misterius. Atau orang yang menurut anda tidak begitu penting namun keberadaannya selalu anda lihat di mana-mana.

Dan yang terakhir, anggap saja ini adalah saran yang paling konyol, kalau terjadi hal yang tidak sesuai dengan petunjuk diatas maka sudah saatnya anda menghubungi penulis. Mereka tahu kemana arah cerita anda. :D

Membaca Elle Eleanor adalah seperti membaca deretan plot tersebut, plot yang terlanjur banyak diulang-ulang oleh para penulis, tidak ada kebaruan. Dalam waktu singkat pun saya bisa menebak gambaran akhir cerita nya. Meski sejujurnya saya cukup terpikat dengan prolognya yang lumayan bisa membuka wacana kebaruan plot thriller ini. Detail psikologi yang pada konteksnya dan tergolong masuk akal juga sesuai dengan latar belakang karakter juga sudah mampu tergarap. Hanya tetap saja hal yang saya kagumi tersebut, hanya merupakan ornamen saja dari keseluruhan cerita tersebut. Dan akhirnya, kembali lagi kita terjebak pada plot yang itu-itu saja sebuah plot yang tipikal kita temui seperti di atas yang telah saya coba ungkapkan.