Pengarang : Adi Toha
Penerbit : Diva Press
ISBN : 97860295*****
Tebal : 411 Halaman
Sinopsis (1)
VALHARALD adalah sebuah novel fiksi fantasi karya Adi Toha. Berkisah tentang perjalanan dan petualangan 12 Ksatria Talismandala dalam menjalani misi dan takdirnya sebagai ksatria cahaya, menyelamatkan negeri VarchLand dari Kekuatan Kegelapan. Kedua belas Ksatria Talismandala ini merupakan orang-orang yang terpilih dengan keunikan dan karakteristik tersendiri dari beragam suku. Menjadi istimewa dengan jati diri dan latar belakangnya masing-masing.
Dalam perjalanannya 12 Ksatria Talismandala tersebut dibekali oleh sebuah kunci berbentuk segitiga yang berfungsi untuk membuka senjata rahasia dan peralatan perang yang telah lama tersimpan di tempat yang juga terahasia. Disamping senjata dan peralatan rahasia tersebut, tersimpan pula Mahkota Liafala, mahkota tertinggi negeri Varchland.
Barangkali itulah yang ingin disampaikan dalam kisah Valharald. Dua belas ksatria bisa jadi adalah diri kita yang tengah terpanggil untuk melakukan sebuah perubahan besar dalam hidup, namun kita selalu saja dilanda pertanyaan-pertanyaan: benarkah saya harus berubah? Beranikah kita untuk melakukan sesuatu yang besar dalam hidup kita?
Melawan atau Mati!
Mutiara Kecil itu…
Kejadian demi kejadian dalam hidup membawa kita kepada satu titik. Jika kita melihat ke belakang dan menyadari sepenuhnya bahwa tibanya kita di satu titik itu adalah sebuah keharusan. Kita akan semakin yakin untuk melangkah ke titik-titik selanjutnya. Meski kita tidak akan pernah tahu apa yang akan kita temui di titik-titik itu. (2)
Kau tidak bisa menjanjikan apa yang belum tentu kau dapatkan. Jangan pernah menjanjikan itu. Kadang takdir tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Apa yang telah kita harapkan, apa yang kita janjikan, apa yang telah kita nanti-nantikan semuanya bisa hilang dan musnah dalam sekejap. (3)
Untuk apa kita takut pada sesuatu yang belum jelas keberadaannya? Kalau pun mereka memang ada, belum tentu mereka akan menyerang kita. Siapa tahu justru mereka akan membantu kita untuk menyelesaikan ujian nanti... (Dialog Fionn). (4)
Jangan pernah menyesali apa yang telah dilenyapkan oleh waktu, ia tidak akan pernah kembali, ia tidak akan pernah kita jumpai lagi karena apa yang telah dilenyapkan oleh waktu sungguh telah berada pada sebuah tempat yang sangat jauh.... (5)
Begitulah beberapa penggalan kata-kata filosofis yang menarik perhatian saya dan bahkan saya dokumentasikan sendiri. Tak banyak namun cukup. Saya katakan beginilah seharusnya sebuah cerita dikisahkan. Ketika membaca Valharald, saya menjadi teringat masa-masa ketika paman saya memberikan dongeng sebelum tidur. Atau mungkin seperti inilah tepatnya ketika seorang penutur di masa itu menceritakan dongeng kepada anak-anak.
Valharald tidak hanya menuturkan cerita atau sekedar curahan hati. Ketika seorang pencerita asyik pada dunianya terkadang ia terjebak pada dunia eksklusifnya, membentengi diri pada pembacanya, tidak mempunyai kontak dengan penikmatnya. Penikmat sering kali dibuat bingung dengan kelebatan-kelebatan peristiwa atau gaya tuturan yang terlalu “aku”. Valharald berusaha menyentuh saya ketika penulis menyisipkan kata-kata atau pesan-pesan filosofisnya secara halus. Bahkan, saya merasa sedang berdialog dengan tokoh tersebut. Menemukan kata-kata filosofis seperti yang saya coba bocorkan di atas, menjadi sebuah “harta karun” kecil yang membuat saya keasyikan dalam dunia Valharald, dan tidak merasa digurui.
Kata-kata filosofis itulah yang saya akui menjadi semacam “reward” kecil ketika saya “dibujuk” tanpa sadar oleh penulis untuk semakin menyelami petualangan demi petualangan, cerita demi cerita, bahkan pertarungan demi pertarungan dari tokohnya. Saya bahkan tidak segan mencatat ulang, mendokumentasikan kata-kata filosofis itu. Novel ini tidak hanya menjadi semacam penghibur namun juga memancing saya untuk membaca secara aktif, terlibat secara emosi maupun retrospeksi dengan penggalan-penggalan kata-kata filosofis, yang entah sadar atau tidak terselip di banyak bagian dialog-dialog tokoh-tokohnya. Saya malah mempunyai pemikiran, apakah seperti demikian pemikiran-pemikiran filosofis yang ada dalam benak penulis?
Membaca-i “Manusia Fiktif” itu…
Di satu sisi saya sangat menikmati “harta karun” itu, di satu sisi lain saya harus terheran-heran dengan kekurangdetailan penulis dalam menangkap gejala-gejala lumrah “manusia”. Satu kejanggalan yang saya tangkap diantaranya adalah ketika penulis menuturkan persahabatan tiga orang pemuda Fionn, Urias dan Cymrodor dengan kaku. Tak ada sekelumit pun percakapan me“manusia” yang nampak, tak ada hal-hal konyol yang tesembul, tak ada keakraban atau kelucuan-kelucuan akrab khas gambaran sebuah persahabatan yang terjalin sangat lama, bahkan semenjak lahir. Tak ada kutipan-kutipan khas “boys talk” yang bisa saya temui.
Keganjilan lain adalah, usia penokohan itu sangat beragam, mulai dari yang masih paruh baya, hingga yang sudah setengah abad, namun sangat aneh apabila gaya bicara mereka juga harus meniru satu sudut pandang saja. Sangat kaku dan tidak menunjukkan pembeda sesuai dengan usia yang dituturkan oleh penulis. Begitu juga latar belakang kesukuan tokohnya, penulis masih belum memikirkan bagaimana meng”karakter”kan tokohnya, padahal ke-12 Ksatria Talismandala merupakan ksatria terpilih dari berbagai suku.
“Bungkus” Dongeng itu…
Saya masih ingat ketika mendapat cetakan pertama novel ini, mata saya langsung tertuju pada sebuah label merah yang tertera di bagian sampul depan cover ini. “Novel yang akam membuatmu GEMETAR”, begitulah yang ter-emboss di cover depan Valharald. Saya rasa emboss ini malah mengebiri konten dari novel ini. Tak ada satu isi pun yang membuat pembaca GEMETAR. Tentu lain soal apabila novel ini merupakan novel horror, saya rasa emboss GEMETAR masih cukup layak. Alih-alih kata GEMETAR, saya lebih menyarankan editor untuk mengalami edisi pembacaan saya dan mengganti kata GEMETAR dengan kata-kata lain. Tergetar, misalnya. Kata “tergetar” menurut saya lebih mewakili karena bisa menggambarkan pembaca yang akan dibuat tergetar secara pikir, emosi dan perbuatan dalam melakukan perlawanan atas ujian atau perbaikan-perbaikan perilaku seperti yang dituturkan sang penulis. Kalau memungkinkan lebih baik kalau emboss itu tak usah ada sama sekali saja, atau dalam bahasa sederhananya ditiadakan.
Saya juga kecewa ketika cover tersebut tidak memiliki orisinalitas dari segi desain cover. Setiap mata pasti langsung mengingat bahwa desain cover Valharald secara jelas mengambil dari gambar film epik-fantasi luar negeri yang telah terlebih dahulu tayang beberapa tahun lalu. Menggabung-gabungkan beberapa film secara “montage”, kemudian diedit sedemikian rupa, dan diberi judul “Valharald”.
Sinopsis di bagian belakang juga saya anggap kurang menarik perhatian saya, terlalu dilebih-lebihkan dan menurut saya hanya sekedar “lips marketing” yang kurang cerdas membaca konten Valharald sesungguhnya. Suatu saat saya coba mengintip deskripsi yang dibuat sendiri oleh penulisnya dalam sebuah grup jejaring pertemanan, dan saya akui deskripsi sinopsis yang diberikan jauh lebih membuat saya tertarik, dibanding yang diberikan di novelnya.
Kekecewaan saya pada kemasan Valharald rupanya bisa menjadi catatan tersendiri bagi editor, disamping beberapa kesalahan-kesalahan penulisan kata yang kerap kali saya temukan di sana-sini. Apakah Valharald terburu-buru dalam proses penyuntingan? Bagi saya, hal itu sangat disayangkan bagi bayi novel cerdas dan boleh dikatakan inspiratif namun terlahir secara prematur oleh penerbitnya.
Valharald bagi saya…
Novel ini sedikit banyak memiliki ikatan emosional dengan saya di sana-sini. Di satu saat saya bahkan mengakui merasa dekat dengan Gwyneira yang menyukai kupu-kupu, dan menyelami dialog-dialog filosofis nya dengan Fionn. Di saat yang lain, saya harus dibuat terharu dengan Eira yang dalam beberapa hal mempunyai pengalaman yang bagi saya mendekati pengalaman hidup saya. Satu kata, menyentuh, namun bukan sebagai sebuah tulisan yang berisi tentang kecengengan yang mengharu-biru. Valharald bercerita tentang ketegaran dan perlawanan atas ujian hidup. Seperti yang termaktub dalam salah satu kutipannya.
Harga dari sebuah perjuangan adalah ujian. Yang tak sanggup bertahan dan kalah akan tersingkir. Yang sanggup bertahan dan memenangkan perjuangan akan tetap hidup. Bukankah kehidupan adalah serangkaian pertarungan? (6)
Begitulah Valharald yang ditutup dengan sebuah bab pertempuran dengan ending yang menggantung dan menjanjikan kelanjutan pengisahan perlawanan berikutnya. Apakah Valharald menjadi korban kutipannya sendiri? Menjadi kisah yang akan dengan mudah “dilenyapkan oleh waktu” atau tidak, yang pasti saya tidak sabar menanti kelanjutan dari novel ini.
Referensi :
1. Sinopsis sebagian diambil dari info grup Facebook Valharald, http://www.facebook.com/?s
2. Valharald, hal. 135
3. Valharald, hal. 214
4. Valharald, hal. 52
5. Valharald, hal.10
6. Valharald, hal.129
NISA ELVADIANI KM BANGSAT!!!!!
BalasHapusCHIEF HRD GOBLOK
Punya karya apa bisa ngehina karya orang lain 😡😡
BalasHapusPunya karya apa bisa ngehina karya orang lain 😡😡
BalasHapus