Malam tadi (15/04/2010) Art Cafe, sebuah kafe di areal Jl.Brigjend Katamso 222, Waru, Sidoarjo ini, menjadi saksi atas diluncurkannya Srawung Art. Srawung Art digagas sebagai panggung apresiasi bulanan seni, sastra dan budaya ini rencananya akan digagas setiap bulan oleh Komunitas ESOK (Emperan sastra COK – Cepetan Ojo Keri) serta menggandeng dbuku sebagai pendukung utama program.
Acara dimulai pada pukul 20.00, dibuka oleh permainan perkusi perempuan oleh PSYCO NOISE, diikuti spontanitas sumbangan dari Cak Ugeng berupa pertunjukan atraksi api. Kemudian acara dibuka oleh MC. Dhika dan Icha. Pidato singkat dari Koordinator ESOK oleh Gita Pratama menjadi pengantar bagi pengunjung dan tamu untuk melatarbelakangi dan mengetahui tujuan kegiatan dari Srawung Art diselenggarakan. Gita Pratama menyampaikan harapannya agar acara ini bisa berlanjut terus untuk ke depannya, dan menjadi penghubung juga wadah lintas komunitas budaya dalam menampilkan ekspresi juga mengapresiasinya .
Setelah itu acara dilanjutkan dengan penampilan Musikalisasi Puisi dari siswa SMU Bina Bangsa. (20.27), dan berlangsung kurang lebih 7 menit. Deny Tri A., juga tidak mau kalah untuk memberikan penampilan terbaiknya membacakan puisi (20:35 – 20:45)
Diskusi yang dimoderatori oleh Diana Av.Sasa dari Indonesia Buku dan lima orang pembicara masing-masing adalah Mas Sugeng (penggiat musik dan penggagas Psycho Noise), Ilham J Baday (perupa), Alex Subairi (wakil dari komunitas “Rebo Sore”), Prita HW (penggiat literasi, ketua komunitas literasi Insan Baca) dan Mahwi Air Tawar (penulis sekaligus penggiat literasi asal Sumenep yang berdomisili di Jogjakarta) juga mampu membuka mata dan wacana pengunjung. Diskusi mengambil tajuk Pergerakan Komunitas Budaya dan Literasi ini juga menjadi ajang temu lintas komunitas yang mempunyai bendera kebudayaan untuk dapat saling bekerjasama dan diharapkan dapat saling mengelaborasi karya-karya dan penciptaan kebudayaan dalam skup yang lebih “terbuka” dan tidak menutup diri terhadap kebaruan dan masuknya jenis-jenis budaya baru selain apa yang dikembangkan oleh komunitasnya (20.45)
Mas Sugeng selaku penggagas Psycho Noise dan penggiat musik ingin memberi ruang bagi para individu yang mempunyai minat dalam bidang musik khususnya perkusi untuk bergabung dalam kelompoknya. Sementara Alex Subairi, penggiat komunitas “Rebo Sore” mempunyai harapan kepada para anggotanya etika pulang ke daerah masing akan membentuk komunitas sendiri. Prita H. W. pendiri Taman Baca Masyarakat “TBM” di Rusun Penjaringan ini mengungkapkan ia memulai pergerakannya dari skripsi. Saat ini sendiri ia mengungkapkan ada 15 perpstakaan indipendent di surabaya. Fungsi utama dari Insan Baca, sebagai komunitas literasi yang ia ketuai, adalah saling berbagi, berusaha mendekatkan buku dengan para pembacanya.
Mas Ilham selaku wakil dari seni rupa, ingin agar komunitas ini, membuat wadah dimana wadah itu bukan hanya untuk kalangan pribadi, tetapi untuk masyarakat yang ingin menikmati seni secara terbuka. Ia juga mempunyai mimpi bukan hanya sekedar mimpi, tetapi bisa direalisasikan dengan bekerja. Menjadi seniman itu adalah suatu PILIHAN.
Mahwi Air Tawar juga menyampaikan keprihatinannya dalam menyaksikan fenomena pergerakan komunitas yang hanya menggantungkan keberlangsungan komunitasnya hanya dari orang per orang saja. Anggota hanya bersifat pasif dan menjadi pengekor motor penggerak komunitas nya. Ia juga membidik aktivitas komunitas yang tenggelam dalam aktivitas kegiatan organisasi dan melupakan proses berkarya dan tidak memetik manfaat apapun dari komunitas yang diikuti oleh individu tersebut.
Benang merah masalah utama adalah ruang dan jaringan, dimana tiap komunitas tidak saling mengenal. Ruang untuk berapresiasi juga menjadi kendala. Srawung art diadakan sebagai wadah, dimana tiap komunitas dapat tampil dan mengapresiasikan komunitasnya, dan untuk memperkenalkan antar komunitas.
Beberapa catatan yang dilontarkan ketika sesi tanya jawab, salah satunya dari cak Ugeng yang mempertanyakan, mengapa komunitas seperti Rebo Sore bergerak hanya di kampus dan tidak mencoba “keluar”. Ia juga memberikan masukan kepada komunitas Insan Baca agar mulai mencoba mengajak anak-anak jalanan dalam kampanye Membaca dan menggiatkan membaca. Komunitas Insan Baca menambahkan bahwa saat ini mereka tengah berupaya untuk melakukan dan mulai dikembangkan.
Kirana Kejora, penulis sekaligus penggiat film menyatakan keyakinannya dalam harapan-harapannya, “Narsis adalah modal optimis. Jangan berpikir bahwa anak daerah tidak bisa maju, anak daerah tidak kalah dengan yang ada di Jakarta. Jadikan Surabaya bumi seniman.”
Ribut Wijoto juga menyatakan responnya bahwa ini adalah sebuah terobosan membuat ruang untuk teman yang belajar sastra, musik, teater dan lain-lain. Tantangannya adalah bagaimana wadah ini bisa memunculkan karya yang KAYA, tidak melulu dari SASTRA.
Di Jogja ada komunikasi yang CAIR, di surabaya jarang ada dialog antar lintas komunitas. Padahal diskusi diperlukan untuk memperluas pengetahuan. Srawung art diharapkan bisa menjadi wadah bagi komunitas2 untuk saling sharing.
(selesai sekitar pukul 22.00)
Acara kemudian dilanjutkan dengan performance Kirana Kejora. Ia membacakan puisi berjudul Elang diiringi dengan permainan musik tiup Saluang oleh Nawi (22.00) Dilanjutkan dengan puisi oleh cak Ugeng. Membacakan puisi karya Kirana Kejora nya yang berjudul Masih Tersisa dengan iringan permainan jimbe. (22.10). Acara ditutup oleh band indie, The Defer, sebuah band indie dengan aliran rock (22.15) (dee/nisa)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar