Kamis, 30 Agustus 2012

Perbedaan : Tak Sekadar "Tunggal Ika"


Semakin bertambahnya umur Kemerdekaan RI tidak cukup membuktikan kedewasaan bangsa mengenai cara bersikap dan wacananya akan wawasan kebangsaan. Kian marak di media blow up berita yang mempermasalahkan perbedaan menjadi inti pertikaian.

Tidak cukup dengan kasus-kasus yang dilatarbelakangi dengan perbedaan latar belakang SARA, namun perbedaan tersebut telah membawa-bawa SARA sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan pengrusakan, kekerasan, dan arogansi publik.

Saya mungkin terlalu dangkal dan lancang tanpa berani menelaah lebih dalam penyebab ataupun pemicunya. Hanya saja saya ingin coba diam sejenak, merenungi, kemudian menuangkan, mengapa kata-kata sakti semboyan NKRI sudah memudar keampuhannya, menjembatani perbedaan-perbedaan itu.

Bhinneka Tunggal Ika

Saya ingat benar, medio sebelum tahun Reformasi bergejolak, sebelum tahun 1998, semua jajaran baik negeri maupun swasta, baik institusi pendidikan maupun perkantoran, diwajibkan mengikuti rangkaian pendidikan bernama Penataran P4, berisi kegiatan sosialisasi Pengamalan Pancasila.

Apakah Pancasila juga tak lagi sakti?

Bila Indonesia memiliki pemerintah yang mengatur seluk beluk agama (dibawah naungan Departemen Agama) dan aliran kepercayaan (dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sempat pula dibawah Departemen Pariwisata) sebegitu dalamkah Pemerintah mencampuri urusan keyakinan seseorang? Sementara dalam laporan faktual lembaga KPK, menyatakan bahwa Departemen Agama dinyatakan sebagai lembaga terkorup, sebuah lembaga yang menaungi urusan moral dan keagamaan rakyat Indonesia.

Bila Agama dalam bahasa sansekerta terdiri dari “A” yang berarti tidak, dan “Gama” yang berarti kacau, maka secara terminologi Agama bisa berarti tidak kacau. Bila pola pikirnya kacau, kesemua masing-masing merasa menjadi yang paling benar sendiri, maka yang ada adalah pola pikir yang salah semua . Pembahasaan ini tidak bisa hanya dicukupkan sampai di sini, ketika perbedaan-perbedaan mencapai batas titik singgung tertentu apakah masyarakat RI tergerak kembali dengan semboyan dan falsafah hidup bangsa?

Saya kini merasa skeptis

Simak saja pemenggalan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, pada Lambang Negara semboyan tersebut dipenggalkan dari Kitab Sutasoma dari kalimat

Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Mangrwa.

Kalimat tersebut sebenarnya berarti,

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Sehingga, bila berbeda-beda jelas menjadi sesuatu yang tidak mungkin bisa dijadikan satu (seragam). Konsep tersebut akhirnya disalahartikan sebagai bentuk penyeragaman atas kaum mayoritas yang mendominasi. Padahal esensi dari slogan ini, yang perlu diseragamkan adalah Konsep tentang Kebenaran, bukan keatributannya.

Bayangkan saja bila saat ini bentuk-bentuk tersebut sudah terlihat dalam contoh teramat sederhana. Bila saya perempuan, saya tidak mungkin diseragamkan/disatukan menjadi laki-laki, bukan? Oleh karena itu, slogan KB menurut saya juga kurang tepat, Dua Anak Cukup. Laki-laki atau Perempuan Sama Saja. Apakah mungkin laki-laki dan perempuan itu “sama"?

Sebuah rekan juga mempertanyakan hal yang sama dalam status akun jejaring sosialnya,

See Roen

22 hours ago ·
syiah itu apa?? sunni itu apa?? NU itu apa? Muhammadiyah itu apa?? kok gak satu nama saja yak "ISLAM". Sudah itu saja beres,,

Permasalahannya apakah nantinya pada akhirnya perbedaan-perbedaan itu menjadi bentuk penyeragaman di tangan mayoritas? Dan perbedaan tentu saja tidak bisa diselesaikan secara arif dengan cara-cara penyeragaman semacam ini.

Bagi saya saat ini, tak masalah bajumu apa, warna kulitmu apa, sukumu apa, agamamu apa, jenis kelaminmu apa dan sebagainya asalkan beranilah untuk selalu berbuat dan bertindak secara benar, sesuai hati, sesuai nurani.

[.]